Habis gelap terbitlah terang adalah tema yang dipakai oleh panitia operasi katarak gratis yang diselenggarakan oleh RSUD Buntok dan Dinkes Kab.Buntok bekerjasama dengan TP.PKK Kabupaten Buntok dan PT.Adaro Indonesia.
Dari tema tersebut dapat diartikan bahwa harapan pasien katarak yang dulu buta tidak melihat apa-apa atau dalam nuansa tanpa cahaya (gelap) maka setelah dioperasi dapat melihat kembali terangnya dunia disekitarnya.
Memang maksud dari istilah dari kata - kata tersebut adalah pengertian nyata pada saat ini.
Dulu RA Kartini mengambil istilah ini sebagai upaya membebaskan kaumnya dari kebodohan atau upaya mencerdaskan kaumnya.
Panitia menganggap bahwa tema tersebut pantas diangkat secara nyata dalam arti yang lebih nyata.
Sekilas tentang Buntok.
Buntok adalah ibu kota Kabupaten Barito Selatan yang berada di Propinsi Kalimantan Tengah, memiliki luas wilayah kurang lebih 12.664 km` dengan keadaan geografis lebih besar daerah rawa. Berpenduduk kurang lebih sebanyak 180.000 jiwa. Kabupaten ini mempunyai motto "dahani dahana tuntung tulus" . Mempunyai 6 kecamatan dengan penduduk asli suku dayak. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Banjar/Melayu dan Bahasa Dayak yang beragam.
Pelaksanaan operasi.
Pembukaan kegiatan operasi dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 Desember 2009, dibuka oleh Bupati Buntok.
Dari sekrening yang dilakukan dari sekitar kurang lebih 200 orang yang diperiksa di dapat sekitar 45 orang yang menderita katarak dan dari hasil pemeriksaan lengkap hanya sekitar 25 orang yang bisa di operasi. Penderita yang belum bisa di operasi dikarenakan adanya penyakit penyerta seperti hipertensi, glukoma, kencing manis, batuk/sesak napas.
Pelaksanaan operasi dilakukan pada hari Sabtu tanggal 19 Desember 2009 dengan jumlah penderita 10 orang dan pada hari Minggu tanggal 20 Desember 2009 berjumlah 15 orang.
Dari kegiatan operasi tersembut ternyata pada hari Sabtu hanya 9 orang yang bisa di operasi, 1 orang tidak bisa di operasi karena tidak koperatif. Pada hari Minggu hanya 13 orang yang bisa dilakukan operasi, 2 orang tidak bisa karena sakit dan 1 orang tidak koperatif. Hasil operasi dari 22 orang terpasang lensa dan 1 orang tidak dipasang lensa karena komplikasi.
Dari sisa penderita yang belum dioperasi diharapkan dapat di operasi pada tahun 2010.
Sumber
www.wikipedia.org/wiki/kabupaten_Barito_Selatan
Rabu, 23 Desember 2009
Buntok , Habis Gelap Terbitlah Terang
Minggu, 13 Desember 2009
Operasi Katarak Gratis di Kab.Hulu Sungai Tengah
Barabai adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang secara geografis terletak di utara Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Jaraknya 160 km dari Banjarmasin, sekitar 4 jam mengenderai mobil. Barabai adalah kota sejuk karena berada di kaki Gunung Pagat yang merupakan salah satu bukit di Pegunungan Meratus yang membujur dari seletan ke utara. Apam Barabai adalah makanan khas yang cukup terkenal di kota ini.
Barabai memiliki luas wilayah 1.472 km` dan mempunyai 11 kecamatan, motto "Murakata".
Suku asli adalah Suku Banjar yang terdapat di seluruh kecamatan dan Suku Dayak Bukit yang bermukim di kecamatan Batu Benawa.
Kota Barabai berdiri/lahir pada tanggal 24 Desember 1959 dengan dasar Hukum UU No 27 tahun 1959.
Untuk memperingati hari jadi kota Barabai ke 50 Pemda HST dengan di koordinir Dinkes Kab.HST mengadakan operasi katarak gratis bekerjasama dengan PT.Adaro Indonesia. Sekrening penderita katarak dilaksanakan oleh Tim Katarak PT.Adaro Indonesia di 3 lokasi, yaitu :
1. Puskesmas Barabai pada tanggal 3 Desember 2009. Jumlah penderita yang disekrening 75 orang dan penderita yang bisa di operasi berjumlah 15 orang.
2. Puskesmas Birayang pada tanggal 4 Desember 2009. Jumlah penderita yang disekrening 41 orang dan yang bisa di operasi berjumlah 8 orang.
3. Puskesmas Pantai Hambawang pada tanggal 5 Desember 2009. Penderita yang disekrening berjumlah 63 orang dan yang bisa di operasi berjumlah 14 orang.
Pelaksanaan operasi dilaksanakan pada tanggal 8, 9, 10 Desember 2009 bertempat di ruang operasi Rumah Sakit Damanhuri Barabai. Penderita yang di operasi berjumlah 30 orang dari 37 penderita yang seharusnya bisa di operasi. 7 penderita yang tidak bisa dioperasi dikarenakan sakit (batuk, sesak napas, hipertensi, naiknya tekanan bola mata). Dokter yang melakukan operasi adalah dokter spesialis mata Rumah Sakit Damanhuri Barabai. Pelaksanaan operasi berjalan lancar.
Harapan ka Dinkes Kab.HST operasi ini dapat berkesinambungan ke tahun-tahun berikutnya.
Sumber :
www.wikipedia.org/wiki/Barabai
www.wikipedia.org/wiki/Kab_Hulu_Sungai_Tengah
Minggu, 06 Desember 2009
ULKUS PEPTIKUM
I. DEFINISI
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak.(misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda denga tukak akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar tukak. Menurut definisi, tukak peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan factor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu factor dari banyak factor yang berperan dalam patogenesis tukak peptic.
II. ETIOLOGI
Etiologi ulkus peptikum kurang dipahami, meskipun bakteri gram negatif H. Pylori telah sangat diyakini sebagai factor penyebab. Diketahui bahwa ulkus peptik terjadi hanya pada area saluran GI yang terpajan pada asam hidrochlorida dan pepsin. Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan
Upaya masih dilakukan untuk menghilangkan kepribadian ulkus. Beberapa pendapat mengatakan stress atau marah yang tidak diekspresikan adalah factor predisposisi. Ulkus nampak terjadi pada orang yang cenderung emosional, tetapi apakah ini factor pemberat kondisi, masih tidak pasti. Kecenderungan keluarga yang juga tampak sebagai factor predisposisi signifikan. Hubungan herediter selanjutnya ditemukan pada individu dengan golongan darah lebih rentan daripada individu dengan golongan darah A, B, atau AB. Factor predisposisi lain yang juga dihubungkan dengan ulkus peptikum mencakup penggunaan kronis obat antiinflamasi non steroid (NSAID). Minum alkohol dan merokok berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ulkus lambung dapat dihubungkan dengan infeksi bakteri dengan agens seperti H. Pylori. Adanya bakteri ini meningkat sesuai dengan usia. Ulkus karena jumlah hormon gastrin yang berlebihan, yang diproduksi oleh tumor(gastrinomas-sindrom zolinger-ellison)jarang terjadi. Ulkus stress dapat terjadi pada pasien yang terpajan kondisi penuh stress.
III. PATHOFISIOLOGI
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan(asam hidrochlorida dan pepsin). Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus yang cukup bertindak sebagai barier terhadap asam klorida.
Sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang berupa :
1. Sefalik Fase
pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan makanan sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus. Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan.
2. Fase lambung
Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap reseptor dibanding lambung. Refleks vagal menyebabkan sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan.
3. Fase usus
Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormon (dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung.
Pada manusia, sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini adalah pertahanan untama lambung terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Factor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan regenerasi epitel.
Oleh karena itu, seseorang mungkin mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua factor ini :
1. Hipersekresi asam pepsin
2. Kelemahan barier mukosa lambung
Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non steroid lain, alcohol, dan obat antiinflamasi masuk dalam kategori ini.
Sindrom Zollinger-Ellison (gastrinoma) dicurigai bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus yang tidak sembuh dengan terapi medis standar. Sindrom ini diidentifikasi melalui temuan berikut : hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma(tumor sel istel) dalam pancreas. 90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai kista dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan leher korpus pancreas. Kira-kira ⅓ dari gastrinoma adalah ganas(maligna).
Diare dan stiatore(lemak yang tidak diserap dalam feces)dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma paratiroid koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan tanda hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri epigastrik. Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat menimbulkan ulkus stress. Endoskopi
fiberoptik dalam 24 jam setelah cedera menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72 jam, erosi lambung multiple terlihat. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya. Pola ini khas pada ulserasi stress.
Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung. Selain itu jumlah besar pepsin dilepaskan. Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi pada pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada esophagus, lambung, atau duodenum, dan biasanya lebih dalam dan lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus curling sering terlihat kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas.
IV. MANIFESTASI KLINIK.
Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului.
Nyeri : biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang mamulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium.
1. Pirosis(nyeri uluhati) : beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien kosong.
2. Muntah : meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan
pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung.
3. Konstipasi dan perdarahan : konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus, kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga datang dengan perdarahan gastrointestinal sebagian kecil pasien yang mengalami akibat ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka menunjukkan gejala setelahnya.
V. TEST DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik atau distensi abdominal. Bising usus mungkin tidak ada. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif terhadap darah samar. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus. Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori, serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.
VI. PENATALAKSANAAN
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
1. Penurunan stress dan istirahat.
2. Penghentian merokok
3. Modifikasi diet
4. Obat-obatan
5. Intervensi bedah
VII. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Riwayat pasien bertindak sebagai dasar yang penting untuk diagnosis. Pasien diminta untuk menggambarkan nyeri dan metode yang digunakan untuk menghilangkannya (tekanan, antacid). Nyeri ulkus peptikum biasanya digambarkan sebagai rasa terbakar atau menggerogoti dan terjadi kira-kira terjadi setelah 2 jam sesudah makan. Nyeri ini dering membangunkan pasien tengah malam dan jam 3 pagi. Pasien hanya menyatakan bahwa nyeri dihilangkan dengan antasida, makan makanan atau dengan muntah. Pasien ditanya kapan muntah terjadi. Bila terjadi, seberapa banyak? Apakah muntahan merah terang atau warna kopi. Apakah pasien mengalami defekasi disertai feses berdarah? Selama pengambilan riwayat, perawat meminta pasien untuk menuliskan masukan makanan, biasanya periode 72 jam dan memasukkan semua kebiasaan makan (kecepatan makan, makanan regular, kesukaan pada makanan pedas, penggunaan bumbu, penggunaan minuman yang mengandung kafein).
Tingkat ketegangan dan kegugupan pasien dikaji. Apakah pasien merokok? Bila ya, seberapa banyak? Bagaimana pasien mengekspresikan marah, terutama dalam konteks kerja dan kehidupan keluarga? Adakah stress pekerjaan atau adakah masalah dengan keluarga? Adakah riwayat keluarga dengan penyakit ulkus?
Tanda vital dikaji untuk indicator anemia (takikardi, hipotensi), feses diperiksa terhadap darah samar. Pemeriksaan fisik dilakukan dan abdomen dipalpasi untuk melokalisasi nyeri tekan.
B. Diagnosa Keperawatan
2. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa gasterdan spasme otot.
3. Diagnosa Keperawatan: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nyeri yang berkaitan dengan makanan.
4. Diagnosa keperawatan : Ansietas berhubungan dengan sifat penyakit dan penatalaksanaan jangka panjang.
5. Diagnosa Keperawatan : kurang pengetahuan mengenai pencegahan gejala dan penatalaksanaan kondisi berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat.
6.
C. Tujuan dan Intervensi Keperawatan
I. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa gasterdan spasme otot.
Tujuan : Klien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1. Berikan terapi obat-obatan sesuai dengan program :
a. Antagonis histamine, Rasional : Mempengaruhi sekresi asam lambung
b.Garam antibiotic/ Bismuth, Rasional : Antibiotik diberikan bersamaan dengan garam Bismuth mematikan H.Pylori
c.Agen sitoprotektif, Rasional : Agen sitoprotektik melindungi mukosa lambung
d.Inhibitor pompa proton, Rasional : Inhibitor pompa proton menurunkan asam lambung
e.Antasida, Rasional : Menetralisir asam lambung
f.Antikolinergik, Rasional : Menghambat pelepasan asam lambung
2. Anjurkan menghindari obat-obatan yang dijual bebas terutama yang mengandung salisilat.
R/ Obat-obatan yang mengandung salisilat dapat mengiritasi mukosa lambung.
3. Anjurkan klien untuk menghindari makanan/ minuman yang mengiritasi mukosa lambung : kafein dan alcohol.
R/ Dapat merangsang sekresi asam hidroklorida.
4. Anjurkan klien untuk menggunakan makanan dan kudapan pada interval yang teratur.
R/ Jadwal makan yang teratur membantu mempertahankan partikel makanan dalam lambung yang membantu menetralisir keasaman sekresi lambung.
5. Anjurkan pasien untuk berhenti merokok
R/ Merokok dapat merangsang kekambuhan ulkus
II. Diagnosa Keperawatan: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nyeri yang berkaitan dengan makanan.
Tujuan : Mendapatkan nutrisi yang optimal.
Intervensi :
1. Anjurkan makan makanan dan minuman yang tidak mengiritasi.
R/ Makanan dan minuman yang tidak mengiritasi dapat membantu mengurangi nyeri epigastrik.
2. Anjurkan makan dengan jadwal yang teratur, hindari kudapan sebelum waktu tidur.
R/ Makan teratur membantu menetralisasi sekresi asam lambung; kudapan sebelum tidur meningkatkan sekresi asam lambung.
3. Anjurkan makan makanan pada lingkungan yang rileks.
R/ Lingkungan yang rileks kurang menimbulkan ansietas. Menurunnya ansietas membantu menurunkan sekresi asam hidroklorida.
III. Diagnosa keperawatan : Ansietas berhubungan dengan sifat penyakit dan penatalaksanaan jangka panjang.
Tujuan : Penurunan ansietas.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk mengekspresikan masalah dan rasa takut dan ajukan pertanyaan sesuai kebutuhan.
R/ Komunikasi terbuka membantu klien mengembangkan hubungan saling percaya yang membantu mengurangi ansietas dan stress.
2. Jelaskan alasan untuk mentaati jadwal pemngobatan yang direncanakan :
1. Farmakoterapi
2. Pembatasan diet
3. Modifikasi tingkat aktifitas
4. Mengurangi atau menghentikan rokok
R/ Pengetahuan mengurangi ansietas yang tampak sebagai rasa takut akibat ketidaktahuan. Pengetahuan dapat mempunyai pengaruh positif pada perubahan perilaku.
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulan ansietas.
R/ Stresor perlu diidentifikasi sebelum dapat diatasi.
4. Ajarkan strategi penatalaksanaan stress : misalnya obat-obatan, distraksi dan imajinasi.
R/ Penurunan ansietas menurunkan sekresi asam hidroklorida.
IV. Diagnosa Keperawatan : kurang pengetahuan mengenai pencegahan gejala dan penatalaksanaan kondisi berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat.
Tujuan :
Klien mendapatkan pengetahuan tentang pencegahan dan penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar dari klien.
R/ Keinginan untuk belajar tergantung pada kondisi fisik klien, tingkat ansietas dan kesiapan mental.
2. Ajarkan informasi yang diperlukan : Gunakan kata-kata yang sesuai dengan tingkat pengetahuan klien. Pilih waktu kapan klien paling nyaman dan berminat. Batasi sesi penyuluhan sampai 30 menit atau kurang.
R/ Individualisasi penyuluhan meningkatkan pembelajaran.
3. Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat diatasi.
R/ Memberikan keyakinan dapat memberikan pengaruh positif pada perubahan perilaku.
D. Evaluasi
1. Nyeri teratasi
2. Perubahan nutrisi teratasi
3. Anxietas teratasi
4. Pengetahuan bertamabah
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J.2000. Buku Saku pathofisiologi.EGC; Jakarta
Doengoes, Marilynn,E.2000 Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3,Jakarta;EGC
Khaidir Muhaj.Blog.Site, Asuhan keperatan Ulkus Peptikum
Mansjoer, Arief dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 3.Jilid I;Jakarta F.K.U.I
Suddart, 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta ;EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Jakarta;EGC
GASTRITIS
I. ANATOMI FISIOLOGI GASTER / LAMBUNG.
Gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama di daerah epigasterium. Bagian atas gaster terdiri dari fundus yang berhubungan dengan esofhagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma didepan pancreas dan limpa, menempel disebelah kiri fundus.
Bagian gaster terdiri dari :
1. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol keatas terletak sebelah kiri ostium kardium dan biasanya penuh berisi gas.
2. Korpus ventrikulli, setinggi ostium kardium , suatu lekukan pada bagian bawah kurvatura minor.
3. Antrum pylorus, bagian lambung yang berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal membentuk sfingter pylorus.
4. Kurvatura minor, terdapat disebelah kanan lambung, terbentang dari osteum kardiak sampai ke pylorus.
5. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor, terbentang dari sisi kiri osteum kardiak melalui fundus ventrikulli menuju kekanan sampai ke pylorus inferior. Ligamentum gastrolienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa.
6. Osteum kardiak, merupakan tempat esophagus diamana bagian abdomen masuk keg aster. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik .
Susunan lapisan dari dalam ke luar, terdiri dari :
1. Lapisan selaput lendir, apabila gaster dikosongkan, lapisan ini akan berlipat – lipat yang disebut rugae.
2. Lapisan otot melingkar ( muskulus aurikularis )
3. Lapisan otot miring ( muskulus obligus )
4. Lapisan otot panjang ( muskulus longitudinale )
5. Lapisan jaringan ikat / serosa ( peritoneum ).
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila melihat makanan atau mencium bau makanan, maka sekresi lambung akan terangsang .
Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena kerja syaraf menimbulkan rangsangan kimiawi yang menyebabkan dinding gaster melepaskan hormon yang disebut sekresi gatah lambung. Getah lambung dihalangi oleh sistem syaraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.
FUNGSI GASTER :
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung .
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino ( albumin dan pepton ).
b. Asam garam ( HCL ), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan disenfektan serta membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.
c. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen ( kasenogen dan protein susu )
d. Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung.
II. DEFINISI GASTRITIS.
Adalah imflamasi / peradangan mukosa gaster / lambung.
Klasifikasi :
a. Gastritis Akut Erosif
Adalah peradangan permukaan mukosa gaster yang akut dengan kerusakan – kerusakan erosi. Disebut erosif apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis.
Etiologi :
Obat aspirin
Bahan kimia
Rokok
Alkohol
Stres fisik ( luka bakar, sepsis, trauma pembedahan, dll )
Stres psikologis
Refluk isi usus
Endotoksin
b. Gatritis Kronik
Adalah imflamasi mukosa gaster yang menahun yang dapat disebabkan oleh ulkus yang benignan atau malignan dan bisa juga yang disebabkan oleh Helycobakteri Pylori.
Klasifikasi gastritis kronis :
- Gastritis kronis type A
Akibat perubahan sel parietal yang menimbulkan atrofi dan infiltrasi seluler, hal ini sering dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti anemia pernisiosa.
- Gastritis kronis type B
Penyakit ini dihubungkan dengan Helycobacteri Pylori, faktor diet yang sembrono, merokok, minum alkohol dan refluk isis usus.
III. PATHOFISIOLOGI
Akibat factor –faktor penyebab diatas akan membuat membrane mukosa lambung menjadi edema dan hiperemik ( kongesti dengan jaringan, cairan dan darah ), kemudian mengalami erosi superficial, bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung yang sangat sedikit asam tetapi banyak mucus.Ulserasi superficial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi , perforasi dan potensial dapat menimbulan terjadinya peritonitis. Pasien dapat mengalami ketidaknyaman , sakit kepala , malasm mual, dan anoreksia. Sering juga disertai dengan muntah dan cegukan.Beberapa pasien asimtomatik
Pada pasien yang tidak ditangani gastritis akut secara serius, maka akan menimbulkan terjadinya gastritis kroni
MANIFESTASI KLINIK :
- Malaese
- Sakit kepala
- Mual
- Muntah
- Anoreksia
- Nyeri ulu hati
- Kembung
- Asam dimulut
- Keluhan – keluhan anemia
IV. DATA PENUNJANG
1. Endoskopi .
Akan tampak erosi multiple yang sebagian biasanya tampak berdarah dan letaknya tersebar , kadang – kadang dapat dijumpai erosi yang mengelompok pada satu daerah. Mukosa umumnya tampak merah.
2. Serologi.
3. Histologi
4. Sinar - X gastro intestinal
V. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
- Nyeri ulu hati
- Anoreksia
- Mual dan muntah
- Riwayat penyakit lambung
- Pola makan ( banyak dan macamnya )
- Coping mekanisme
b. Data Okjektif
- Nyeri tekan epigastrium
- Perubahan turgor kulit
- Mukosa bibir kering
- Conjungtiva anemis
2. Diagnosa keperawatan , etiologi ,intervensi dan rasional.
• Nyeri b/d iritasi mukoda lambung.
- Observasi karakteristik ( intensitas dan skala nyeri )
R/ : Skala dan intensitas menentukan tindakan selanjutnya
- Berikan makanan porsi kecil dan tidak merangsang mukosa gaster.
R/ : Pemberian makanan yang banyak dalam waktu singkat menambah beban kerja lambung.
- Kolaborasi dalam pemberian analgetika
R/: Mengurangi rasa nyeri
• Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake inadekuat
- Kali ulang makanan yang disukai sesuai indikasi
R/ : Menambah / meningkatkan napsu makan
- Beri diet TKTP sesuai indikasi
R/: Penambahan nutrisi sesuai kebutuhan
- Timbang berat badan tiap hari
R/ : Parameter dari keberhasilan tindakan
- Kolaborasi dalam pemberian multivitamin
R/ : Menambah napsu makan
• Resiko volume cairan kurang b/d out put yang berlebihan ( muntah ) intake cairan yang kurang.
- Observasi intake out put cairan ( water balance ) / 24 jam
R/ : Indikator dari pemenuhan cairan
- Tingkatkan asupan cairan peroral / parenteral sesuai hasil kolaborasi.
R/ : Mempertahankan kebutuhan akan cairan dalam tubuh
- Observasi tetesan infuse dan lokasi pemasangan
R/ : Patensi dan kelancaran dalam pemenuhan kebutuhan cairan
- Observasi tanda – tanda kurang cairan
R/ : Indikator dalam menentukan tindakan selanjutnya
- Observasi tanda – tanda vital
R/ : Tanda – tanda vital akan berpengaruh terhadap masalah kekurangan cairan
• Intoleransi aktifitas b/d nyeri.
- Anjurkan dan jelaskan pentingnya istirahat ditempat tidur selama fase nyeri.
R/ : Meminimalkan timbul nyeri
- Bantu pemenuhan aktifitas harian ( ADL )
R/ : Pemenuhan terhadap kebutuhan dasar harian
- Observasi tingkat kemampuan aktifitas klien sesuai dgn kategori
R/ : Menentukan tindakan selanjutnya
- Berikan latihan rentang gerak aktif dan pasif sesuai kemampuan
R/ : Mencegah kekakuan otot.
• Resiko perdarahan ( hemetemesis / melena ) b/d perforasi dinding gaster.
- Observasi dan laporkan tanda dan gejala perdarahan internal ( pucat, td menurun, akral dingin, pols lemah dan penurunan kesadaran ).
R/ : Indikator dalam menentukan tindakan selanjtnya
- Lanjutkan pemberian cairan parenteral sesuai order dokter.
R/ : Mempertahankan pemenuhan cairan dalam tubuh
3. Evaluasi
- Nyeri b/d iritasi mukosa gaster teratasi
- Nutrisi kurang b/d intake inadekuat teratasi
- Resiko volume cairan kurang b/d out put yang berlebihan tidak terjadi
- Intoleransi aktifitas b/d nyeri teratasi
- Resiko perdarahan b/d perforasi dinding gaster tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J.2000. Buku Saku pathofisiologi.EGC; Jakarta
Doengoes, Marilynn,E.2000 Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3,Jakarta;EGC
Khaidir Muhaj.Blog.Site, Asuhan keperatan Ulkus Peptikum
Mansjoer, Arief dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 3.Jilid I;Jakarta F.K.U.I
Suddart, 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta ;EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Jakarta;EGC
THYPUS ABDOMINALIS
I. ANATOMI FISIOLOGI INTESTINUM MINOR ( usus halus ).
Intestinum minor merupakan bagian dari system pencernaan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada seikum serta panjangnya ± 6 meter yang merupakan saluran paling panjang dimana tempat terjadinya proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari :
- Lapisan usus halus
- Lapisan mucosa ( sebelah dalam )
- Lapisan otot melingkar
- Lapisan otot memanjang ( longitudinal )
- Lapisan serosa ( sebelah luar ).
Usus halus memanjang dari lambung sampai katup katup ileo kolika, tempat bersambung dengan usus besar.
Usus halus terdiri dari :
1. DUODENUM
Disebut juga usus 12 jari, panjangnya 25 cm berbentuk sepatu kuda, melengkung kekiri , pada lengkungan ini terdapat pancreas dan bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit disebut papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu dan saluran pancreas.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar yang disebut kelenjar Brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
2. YEYUNUM DAN ILEUM
Mempunyai panjang sekitar 6 meter, dua per lima bagian atas adalah yeyunum dengan panjang ± 23 cm dan ileum dengan panjang 4 – 5 meter. Lelukan yeyunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lapisan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai mesenterium.
MUKOSA USUS HALUS
Permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mucosa dan mikrouni yang memudahkan pencernaan dan absorbsi, lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat memperbesar permukaan usus.
ABSORBSI.
Absorbsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung didalam usus halus melalui dua saluran yaitu pembuluh kafiler dalam darah dan saluran limfe disebelah dalam permukaan villi usus.
Sebuah villi berisi lacteal, pembuluh darah, epetelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid. Seluruhnya dilapisa oleh membrane dasar dan ditutup oleh epithelium, karena viili keluar dari dinding usus maka
bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang diabsorbsi ke dalam lacteal, kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kafiler darah di villi oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami perubahan.
FUNGSI USUS HALUS.
Meliputi :
1) Menerima zat – zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler – kapiler darah dan saluran – saluran limfe.
2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino
3) Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan, diantaranya adalah :
a) Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
b) Eripsi menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
- Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida
- Maltose mengubah maltose menjadi monosakarida
- Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida.
II. DEFINISI.
Demam Thypoid / Thypus abdominalis adalah merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih yang disertai dengan gangguan saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Penularan penyakit ini hamper selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi mikro organisme.
III. ETIOLOGI.
Thypus abdominalis disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella asendis yaitu Salmonella enteridis bioserolife parityphi A, enteridis bioserolife Parathyphi B dan salmonella enteridis paratyphi C.
Kuman – kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A, salmonella schottinuellert dan salmonella hirsstirelldi.
IV. PATHOFISIOLOGI.
Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui berbagai cara yang dikenal dengan lima F, yaitu : Food ( makanan ), Finger ( jari tangan / kuku ), Fomitus ( muntah ), Fly ( lalat ) dan Faeces yang sudah tercemar dengan bakteri atau kuman salmonella thyposa . Faeces dan muntahan pada penderita thypoid dapat menularkan kuman salmonella typhi kepada orang lain. Kuman tersebut juga dapat ditularkan melalui parantaraan lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan
yang akan dikonsumsi individu yang sehat. Jika individu tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya , seperti tidak mencuci tangan sebelum makan dan makan makanan yang tercemar kuman salmonella thphy , maka kuman tersebut akan masuk ke dalam tubuh individu tersebut melaui mulut masuk ke saluran pencernaan , masuk kelambung sebagai kuman dan akan dimusnahkan oleh HCL lambung
HCL berperan dalam penghambat masuknya kuman salmonella typhi. Jika kuman salmonella typhi masuk bersama cairan maka terjadi pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme, daya hambat ini menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung sehingga kuman salmonella yang tersisa masuk ke usus halus dan seterusnya memasuki folikel – folikel limfe : lapisan mucosa dan sub mucosa usus.
Setelah berada dalam usus halus kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus ( terutama plak peyer ) dan jaringan limfoid mesentrika.
Setelah mengadakan peradangan dan nekrosis setempat. Kuman masuk ke dalam darah melalui pembuluh darah ( bakterimia primer ) menuju organ retikuloendotelial terutama hepar dan limpa. Di tempat ini kuman difhagosit oleh sel – sel fhagosit ( RES ) , sedangkan kuman – kuman yang tidak difhagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5 – 9 hari kuman masuk kembali ke organ , terutama limpa , kandung empedu, rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus halus.
Dalam masa bakterimia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang merangsang sintese dan pelepasan zat pirogen yang beredar di dalam darah yang akan mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala deman.
Bakterimia disertai dengan infeksi menyeluruh dan toksis yang dalam . Infeksi menyebabkan kelainan akibat toksin bakteri yang menyebabkan pembuntuan pembuluh darah – pembuluh darah kecil oleh hyperplasia sel limpoid
Mukosa yang nekrosis membentuk kerak , sehingga ketika kerak tersebut lepas dari mukosa yang nekrosis tersebut dan terbentuklah ulkus.Perdarahan hebat dapat terjadi bahkan mungkin juga perforasi dan terjadi peritonitis serta dapat
terjadi infeksi sistemis yang akan mengakibatkan gangguan pada system organ – organ dalam tubuh, seperti : Cardiovascular ( septic syock , myocarditis, dll ), Anemia hemolitik, thrombositopenia, hemolitik dan lain – lain. Organ paru – paru ( pneumonia, empiema,pleuritis ), organ ginjal ( glomerulanephritis, dll ), tulang ( ostesmylitis ) dan neuropsikiatri ( delirium , psikis sindrom, dll ).
V. TEST PENUNJANG
1) Pembiakan darah
Ditemukan bakteri salmonella dalam darah penderita, dengan pembiakan darah pada 14 hari pertama dari sakit.
2) Uji Widal dan biakan empedu.
Biakan empedu untuk menemukan kuman salmonella typhosa dan pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnostik typhus abdominalis secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya
Didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menegakan diagnostik, karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.
3) Pemeriksaan SGOT dan SGPT.
Pada demamtyphoid sering kali meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah penyembuhan penyakit typhoid.
4) Pemeriksaan Leukosit.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid , jumlah leukosit pada sedian darah tepi berada dalam batas normal. Meskipun pada sebagian kasus terjadi peningkatan leukosit.
Kadang terjadi leucopenia dengan limphositosis relative, anemia dan aneosinofilia dan kadang leukositosis.
VI. ASUHAN KEPERAWATAN.
1. ASESSMENT
a. Data Subjektif.
• Demam
• Nyeri kepala
• Pusing
• Nyeri otot
• Anoreksia
• Mual – muntah
• Obstipasi / diare
• Perasaan tidak enak pada perut
• Batuk.
b. Data Objektif
• Peningkatan suhu tubuh
• Bradikardi
• Lidah typhoid ( kotor ditengah, tepid an ujung merah )
• Tremor
• Hepatomegali
• Widal test ( + )
2. NURSING DIAGNOSIS AND ETIOLOGI.
a. Nyeri akut b/d hyperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/ jaringan.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan ( diare berat dan muntah ).
c. Hyperthermi b/d proses imflamasi
d. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake inadekuat.
3. EXPECTED PATIEN OUTCOME.
a. Melaporkan nyeri hilang
b. Melaporkan rasa nyaman.
c. Klien tampak rilek
d. Melaporkan penurunan frekuensi defekasi
e. Tanda – tanda vital dalam batas normal
f. Menunjukan berat badan stabil
g. Berpartisipasi dalam program pengobatan
4. NURSING INTERVENTION AND RASIONALE.
a. Nyeri akut b/d hyperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/ jaringan.
Observasi karakteristik ( skala dan intensitas ) nyeri.
R/ : Skala dan intensitas nyeri menunjukan kemajuan tindakan.
Kaji ulang penyebab yang dapat meringankan atau meningkatkan nyeri.
R/ : Dapat menentukan tidakan selanjutnya.
Ajarkan tehknik pengalihan rasa nyeri ( relaksasi dan distraksi )
R/ : Pengalihan nyeri mengakibatkan relaksasi otot dan meringankan nyeri.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik
R/ : Mengurangi nyeri
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan ( diare berat dan muntah ).
Observasi tanda – tanda kekurangan cairan.
R/ : Adanya tanda – tanda kekurangan cairan menandakan beratnya masalah
Observasi tanda penurunan kesadaran.
R/ : Salah satu tanda syock Hypovolemik adalah penurunan kesadaran
Pantau intake – output ( water balance ) / 24 jam
R/ : Cairan yang seimbang menandakan tingkat keberhasilan dari tindakan
Pertahankan pemberian cairan oral dan parenteral sesuai order dokter.
R/ : Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh
c. Hyperthermi b/d proses imflamasi
Observasi tanda – tanda vital ( temperature )
R/ : Parameter terjadinya proses imflamasi
Intake cairan oral ditingkatkan sesuai toleransi
R/ : Pemenuhan cairan selain parenteral
Anjurkan pakaian tipis
R/ : Pengeluaran panas tubuh lebih cepat
Berikan kompres hangat
R/ : Vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan proses evaporasi.
Kolaborasi dalam pemberian analgetika dan antibiotika
R/: Penetralisir perkembangan proses imflamasi
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake inadekuat
Tirah baring / pembatasan aktifitas selama masa akut
R/ : Meminimalkan energi yang dikeluarkan
Bantu dalam personal hygien ( kebersiahan oral )
R/ : Memberikan rasa nyama
Anjurkan dan jelaskan pentingnya makan sedikit – sedikit tapi sering.
R/ : Pemberian makanan yang banyak dalam waktu singkat menambah beban kerja lambung.
Kolaborasi dalam pemberian multi vitamin.
R/ : Meningkatkan napsu makan.
1. EVALUASI.
1) Nyeri teratasi
2) Resiko Volume cairan kurang tidak terjadi
3) Hypertermi teratasi
4) Resiko nutrisi kurang tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J.2000. Buku Saku pathofisiologi.EGC; Jakarta
Doengoes, Marilynn,E.2000 Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3,Jakarta;EGC
Khaidir Muhaj.Blog.Site, Asuhan keperatan Ulkus Peptikum
Mansjoer, Arief dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran.Edisi 3.Jilid I;Jakarta F.K.U.I
Suddart, 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta ;EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Jakarta;EGC
” PERDARAHAN GASTRO INTESTINAL ”
ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN CERNA
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
Sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai anus) berfungsi sebagai berikut :
a. menerima makanan (Mulut)
b. memecah makanan menjadi zat-zat gizi (Mulut, Tenggorokan, Kerongkongan & Lambung)
c. menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah (Usus)
d. membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh
1. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
Mulut Adalah rongga pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri atas dua bagian yaitu vestibula yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi. Dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi disisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi dan sibelah belakang bersambung dengan awal faring
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
2. Faring
Terletak dibelakang hidung, mulut dan laring. Faring berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran berotot (musckulo membranosa).
3. Usofagus
Adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20 cm sd 25 cm, diatas dimulai dari faring dan berakhir pada pintu masuk kardiak lambung. Usofagus terletak dibelakang trachea dan didepan tulang punggung. Setelah memasuki torak menembus digfragma, untuk masuk kedalam abdomen dan menyambung dengan lambung.
Makanan berjalan dalam usofagus karena kerja peristaltic, lingkaran serabut otot didepan makanan mengendor dan yang dibelakang makanan berkontraksi. Maka gelombang peristaltic menghantarkan makanan ke lambung.
4. Lambung
Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat mekar paling banyak.
Lambung Terletak di bawah diafragma, didepan pancreas bagian utama lambung berada pada epigastrium dan sebagian disebelah kiri daerah hipokondriak dan umbilical.
Lambung terdiri dari bagian atas , yaitu fundus dan batang utama dan bagian bawah yang horizontal yaitu antrum pilorik. Lambung berhubungan dengan usupagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orisium pilorik.
Struktur Lambung terdiri atas empat lapisan, yaitu :
a. Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa.
b. Lapisan otot, yang terdiri dari tiga lapis meliputi serabut longitudinal, serabut sirkuler dan serabut oblik.
c. Lapisan Submukosa yang terdiri dari jaringan areolar berisi pembuluh darah dan saluran napas.
d. Lapisan Mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal dan terdiri atas banyak kerutan atau rugae, yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi makanan.
Fungsi Lambung adalah sebagai penerima makanan dari esophagus melalui orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun smentara, sedangkan kontraksi otot berguna untuk mencampur makanan dengan getah lambung. Gelombang peristaltic dimulai tinggi di fundus, berjalan berulang-ulang, setiap menit tiga kali dan merayap perlahan ke pilorus.
Kelenjar dalam lapisan mukosa lambung mengeluarkan secret yaitu cairan pencerna penting berupa getah lambung. Getah ini adalah cairan asam bening tak berwarna. Mengandung 0,4 % asam hidroklorida (HCL), yang mengasamkan makanan dan bekerja sebagai zat antiseptic dan disinfektan.
Lambung juga menghasilkan enzim pencerna yang terdapat dalam getah lambung :
a. Pepsin : bekerja mengubah protein menjadi bahan yang lebih mudah larut.
b. Rennin : mengubah zat susu dan membentuk kasein.
c. Lipase : untuk memcah lemak
5. Usus halus
Usus halus adlah tabung yang kira-kira sekitar 2,5 meter panjangnya pada keadaan hidup. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileo-kolika, tempat bersambungan dengan dengan usus besar. Usus halus terletak didaerah umbilicus dan dikelilingi oleh usus besar.
Dapat dibagi menjadi beberapa bagian :
a. Doudenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm.
b. Yeyunun menempati 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya.
c. Ilium menempati 3/5 akhir.
Fungsi Usus Halus adalah mencerna dan mengabsopsi khime dari lambung . Isi Duodenum adalah alkali.
Isinya yang cair (atau khime) dijalankan oleh serangkaian gerakan peristaltic yang cepat. Setiap gerakan lamanya 1 detik dan antara gerakan ada istirahat beberapa sekon. Terdapat dua gerakan lain pada usus yaitu:
a. Gerakan Segmental ialah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus satu dari yang lain karena diikat oleh gerakan kontraksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan isi yang cair ini sementara bersentuahan dengan dinding usus untuk digesti dan absopsi.
b. Gerakan pendulum atau ayunan menyebabkan isi usus bercampur.
6. Usus besar
Usus Besar/ Kolon sebagai kantong yang mekar.
Fungsi dari usus besar sebenarnya tidak ikut dalam pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai sekum maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan isinya cair. Selama perjalanan didalam kolon isisnya menjadi makin padat karena air diabsorpsi dan ketika mencapai rectum maka feses bersifat padat lunak.
Fungsi kolon dapat diringkas sebagai berikut:
1. Absorpsi air, garam dan glukosa.
2. Sekresi musin oleh kelenjar dilapisan dalam.
3. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon didalam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan sayuran hijau dan penyiapan sisa protein yang belum dicerna.
4. Defekasi / pembuangan air besar
7. Rectum
Merupakan bagian 10 cm terbawah dari usu besar, dimulai pada kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal yang kira-kira 3 cm panjangnya. Saluran ini berakhir kedalam anus yang dijaga oleh otot-otot interna dan ekterna.
8. Anus
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup.
B. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Perdarahan saluran cerna atas adalah perdarahan yang berasal dari bagian proksimal ligamentum Treitz dengan manifestasi klinik berupa hematemesis dan melena. Hematemesis adalah muntah yang mengandung darah berwarna merah terang atau kehitaman akibat proses denaturasi, sedangkan melena adalah pendarahan saluran cerna atas yang keluar melalui rektum dan berwarna kehitaman atau seperti ter. Pada perdarahan saluran cerna atas masif, darah yang keluar melalui rektum dapat berwarna merah terang (hematokesia) akibat waktu singgah yang cepat di dalam saluran cerna.
Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)
Warna darah, tergantung:
a. Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung
b. Besar kecilnya perdarahan,
Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.
Hematemisis terjadi bila perdarahan dibagian proksimal jejunum (Tondobala, 1987) atau di atas ligamen Treitz /pada jungsi denojejunal (Hudak & Gallo, 1996)
Sedangkan malena terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemisis. Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai keadaan melena.
Hematemesis bewarna merah terang menunjukkan perdarahan masif
Hematemesis berwarna kehitaman (coffee ground) menunjukkan perdarahan yang berlangsung lambat.
Melena menunjukkan telah terjadi perdarahan lebih dari 2% volume darah.
Hematokesia dapat sebagai petunjuk telah terjadi perdarahan saluran cerna atas masif.
Hematemesis paling sering terjadi pada perdarahan akut
Melena berulang dengan atau tanpa anemia dapat terjadi pada perdarahan kronis.
2. Penyebab
Penyebab Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
a. Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan
b. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll
c. Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll.
d. Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll
e. Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo, 1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993.
3. Tanda dan gejala
a. Tanda-tanda perdarahan gastrointestinal antara lain, hipertensi portal, obstruksi intestinal, koagulopati, epistaksis, fisura ani dan hemoroid. Peningkatan nadi 20/menit atau penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg saat dari duduk akan berdiri, adalah tanda terjadi perdarahan yang cukup signifikan.
b. Gejala perdarahan gastrointestinal ditandai dengan darah merah segar dari mulut, Muntahan darah merah segar atau seperti kopi, Melena, Darah segar bercampur tinja, Darah diluar tinja.
4. Patofisiologi
Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.
5. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan kolaboratif
Intervensi awal mencakup 4 langkah:
1) kaji keparahan perdarahan
2) gantikan cairan dan produk darah untuk mnengatasi shock
3) tegakan diagnosa penyebab perdarahan dan
4) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif.
2) Resusitasi Cairan dan Produk Darah:
1) Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar
2) Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline
3) Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti
4) Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match
5) Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin, epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan perawatan definitif.
3) Mendiagnosa Penyebab Perdarahan
1) Dilakukan dengan endoskopi pleksibel
2) Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi kontroversial)
3) Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum.
4) Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.
5) Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)
4) Perawatan Definitif
1) Terapi Endoskofi
a) Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis pembuluh yang berdarah.
b) Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas, fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.
2) Bilas Lambung
a) Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskofi)
b) Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih.
c) Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan mengakibatkan perdarahan
d) Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.
e) Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan—memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus.
3) Pemberian Pitresin
a) Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.
b) Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan
c) Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.
d) Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif
e) Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.
f) Ranitidin 2-3 mg/kg/hari, diberikan 2 kali sehari
g) Pada esofagitis, berat dan ulkus peptikum: Omeprazole 0,6-3 mg/kg/hari, diberikan 1 kali sehari.
4) Mengurangi Asam Lambung
a) Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2) antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid)
b) Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam.
c) Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4 dapat dipertahankan.
d) Antasid juga biasanya diberikan
5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi
a) Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton) 10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa protrombin menjadi normal.
b) Dapat pula diberikan plasma segar beku.
6) Balon Tamponade
Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus.
Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen:
a) Balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara,
b) Balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer)
c) Lumen yang ke-3 untuk mengaspirasi isi lambung
Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah.
Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml
Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung.
Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 mL udara.
Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.
Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau perforasi esopagus.
Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.
7) Asuhan Keperawatan
a) Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti batuk, mengejan meningkatkan tekanan intra abdomen (tib) shg dapat terjadi perdarahan lenjut.
b) Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam esopagus.
c) Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction dari esopagus bagian atas
d) Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi akiat iritasi oleh selang
e) NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong.
f) Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan selang.
g) Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak, dan dapat terjadi intoksikasi amonia.
8) Terapi Pembedahan
a) Reseksi lambung (antrektomi)
b) Gastrektomi
c) Gastroentrostomi
d) Vagotomi
Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan
anastomosis lambung pada duodenum.
Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis lambung pada jejunum
e) Operasi dekompresi hipertensi porta
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Anamnesis: perlu ditanyakan tentang :
1) Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun, alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll.
2) Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium
3) Tanda-gejala hemel timbul mendadak
4) Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas atau lainnya.
b. Pemeriksaan Fisik :
1) Keadaan umum
2) Kesadaran
3) Nadi, tekanan darah
4) Tanda-tanda anemia
5) Gejala hipovolemia
6) Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi, ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.
c. Laboratorium :
1) Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit
2) Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa serum dan laktat.
3) Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin
4) Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.
d. Pemeriksaan Radiologis
1) Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus dan double contrast untuk lambung dan duodenum.
2) Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.
e. Pemeriksaan Endoskopi
1) Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan
2) Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik
3) Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti
2. Diagnosa Keperawatan
a) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.
b) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena
d) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun
kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau ketidakmampuan yang permanen.
3. Intervensi
a) Diagnosa keperawatan : Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.
1) Tujuan :
Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik
2) Intervensi Keperawatan :
Pantau vs setiap jam
Pantau nilai-nilai hemodinamik
Ukur output urine tiap jam
Ukur I dan O dan kaji keseimbangan
Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi yang merugikan terhadap komponen terapi.
Tirang baring total, baringkan pasien terlentang dg kaki ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensi. Jika terjadi normotensi tempatkan tinggi bagian kepala tempat tidur pada 45 derajat untuk mencegah aspirasi isi lambung.
Pantau Hb dan Ht
Pantau elektrolit
Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut.
b) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.
1) Tujuan :
Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan pertukran gas yang adekuat
2) Intervensi Keperawatan :
Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs
Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmoner
Gunakan suplemen O2 sesuai instruksi
Pantau suhu tubuh
Pantau adanya distensi abdomen
Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur yang ditinggikan jika segalanya memungkinkan
Pertahankan fungsi dan patensi NGT dengan tepat
Atasi segera mual
Pertahankan kestabilan selang intravena.
Ganti larutan intravena sedikitnya tiap 24 jam
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena
1. Tujuan :
Pasien tidak akan mengalami infeksi nosokomial
2. Intervensi Keperawatan :
Ukur suhu tubuh setiap jam
Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi
Ganti letak intravena setiap 48-72 jam
Letak insersi setiap shift
Gunakan tehnik aseptik saat mengganti balutan dan selang.
Pertahankan balutan bersih dan steril
Ukur sel darah putih
DAFTAR PUSTAKA
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik.(Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.
Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton & Lange.
Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pearce, C Evelyn , 2002, “ Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis”, Jakarta : PT Gramedia.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN HEMORROID
A. Pengertian
Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal. Hemoroid dibagi menjadi 2, yaitu hemoroid interna dan eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media dan hemoroid eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai istilah yang digunakan, maka hemoroid eksterna timbul di sebelah luar otot sfingter ani, dan hemoroid interna timbul di sebelah dalam sfingter.
Hemorroid adalah pelebaran pembuluh darah/flexus vena. Hemorroid sangat umum terjadi. Pada usia 50-an, 50% individu mengalami berbagai tipe hemorroid berdasarkan luasnya vena yang terkena. Kehamilan diketahui mengawali atau memperberat adanya hemorroid.
B. Etiologi
1. Kelainan organis
a) Serosis hepatic
b) Trombosis vena porta
c) Tumor intra-abdominal, terutama pelvis
2. Idiopatik, predisposisi:
a) Herediter: kelemahan pembuluh darah
b) Anatomi: tak ada katup pada vena porta sehingga darah mudah kembali, tekanan di plexus hemorrhoid akan meningkat.
c) Gravitasi: banyak berdiri
d) Tekanan intra abdominal yang meningkat: batuk kronis, mengejan.
e) Tonus spinter ani lemah
f) Obstipasi atau konstipasi kronis
g) Obisitas
h) Diit rendah serat
i) Pada wanita hamil faktor yang mempengaruhi timbulnya hemorrhoid adalah :
1) Tumor intra abdomen menyebabkan gangguan aliran vena daerah pelvis
2) Kelemahan pembuluh darah waktu hamil kerena pengaruh hormon
3) Mengedan selama partus.
C. Klasifikasi
1 Hemorroid interna:
a) Berasal dari plexus vena hemnhoidalis superior dan medius
b) Terletak diatas linea dentate atau 2/3 atas dari saluran anus.
c) Permukaannya mukosa (epitel thorax)
d) Tiga posisi utama: jam 3, jam 7, jam 11
2 Hemorroid externa:
a) Berasal dari plexus hemorroidalis inferior
b) Terletak 1/3 bawah saluran anus
c) Permukaannya kulit (epitel gepeng/squamous)
D. Patofisiologi
Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Beberapa faktor etiologi telah diajukan, termasuk konstipasi atau diare, sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat, fibroma uteri, dan tumor rectum. Penyakit hati kronik yang disertai hipertensi portal sering mengakibatkan hemoroid karena vena hemoroidalis superior mengalirkan darah ke dalam sistem portal. Selain itu sistem portal tidak mempunyai katup sehingga mudah terjadi aliran balik .
Hemorrhoid interna:Sumbatan aliran darah system porta menyebabkan timbulnya hipertensi portal dan terbentuk kolateral pada vena hemorroidalis superior dan medius.Hemorrid eksterna:Robeknya vena hemorroidalis inferior membentukhematoma di kulit yang berwarna kebiruan, kenyal-keras,dan nyeri.
E. Manifestasi klinis
Hemorrhoid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemorroid eksterna dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan darah dalam hemorroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut dan nekrosis. Hemorroid internal tidak selalu menimbulkan nyeri sampai hemorroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan atau prolaps.
Tanda dan gejala:
1. BAB berdarah, biasanya berupa darah segar yang menetes pada akhir defekasi
2. Prolaps:
a) Grade I : prolaps (-), perdarahan (+)
b) Grade II : prolaps (+), masuk spontan
c) Grade III : prolaps (+), masuk dengan manipul
d) Grade IV : prolaps (+), inkarserata
3. BAB berlendir, timbul karena iritasi mukosa rectum.
4. Pruritus ani sampai dermatitis, proctitis
5. Nyeri Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan hematoma, bentuk ini sering sangat nyeri dan gatal karena ujung – ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronik atau skin tag berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah.
Hemoroid interna diklasifikasikan sebagai derajat I, II dan III. Hemoroid interna derajat I (dini) tidak menonjol melalui anus. Lesi biasanya terletak pada posterior kanan dan kiri dan anterior kanan mengikuti penyebaran cabang – cabang vena hemoroidalis superior dan tampak sebagai pembengkakan globular kemerahan. Hemoroid derajat II dapat mengalami prolapsus melalui anus setelah defekasi. Hemoroid derajat III mengalami prolapsus secara permanen. Gejala – gejala hemoroid interna yang paling sering adalah perdarahan tanpa nyeri, karena tidak ada serabut – serabut nyeri pada daerah ini. Kebanyakan kasus adalah hemoroid campuran interna dan eksterna.
F. Penatalaksanaan
Hemorroid interna diterapi sesuai dengan gradenya. Tetapi hemorroid eksterna selalu dengan operasi. Konservatif indikasi untuk grade 1-2, < 6 jam, belum terbentuk trombus. Operatif indikasi untuk grade 3-4, perdarahan dan nyeri.
1. Gejala hemorroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan dengan:
a. Higiene personal yang baik dan menghindari mengejan berlebihan selama defekasi.
b. Diet tinggi serat yang mengandung buah dan sekam, bila gagal dibantu dengan menggunakan laksatif yang berfungsi mengabsorbsi air saat melewati usus.
c. Tindakan untuk mengurangi pembesaran dengan cara: rendam duduk dengan salep, supositoria yang mengandung anestesi, astringen (witch hazel) dan tirah baring.
2. Beberapa tindakan nonoperatif untuk hemorroid:
a. Foto koagulasi infra merah, diatermi bipolar, terapi laser adalah tehnik terbaru untuk melekatkan mukosa ke otot yang mendasarinya
b. Injeksi larutan sklerosan efektif untuk hemorrhoid yang berukuran kecil.
3. Tindakan bedah konservatif hemorrhoid internal
Adalah prosedur ligasi pita karet. Hemorrhoid dilihat melalui anosop, dan bagian proksimal diatas garis mukokutan dipegang dengan alat. Pita karet kecil kemudian diselipkan diatas hemorrhoid. Bagian distal jaringan pada pita karet menjadi nekrotik setelah beberapa hari danm dilepas. Terjadi fibrosis yang mengakibatkan mukosa anal bawah turun dan melekat pada otot dasar. Meskipun tindakan ini memuaskan beberapa pasien, namun pasien lain merasakan tindakan ini menyebabkan nyeri dan mengakibatkan hemorroid sekunder dan infeksi perianal.
4. Hemoroidektomi kriosirurgi
Adalah metode untuk menghambat hemorroid dengan cara membekukan jaringan hemorroid selama waktu tertentu sampai timbul nekrosis. Meskipun hal ini kurang menimbulkan nyeri, prosedur ini tidak digunakan dengan luas karena menyebabkan keluarnya rabas yang berbau angat menyengat dan luka yang ditimbulkan lama sembuh.
5. Laser Nd: YAG
Digunakan dalam mengeksisi hemorroid eksternal. Tindakan ini cepat dan kurang menimbulkan nyeri. Hemoragi dan abses jarang menjadi komplikasi pada periode paska operatif.
6. Metode pengobatan hemorroid
Tidak efektif untuk vena trombosis luas, yang harus diatasi dengan bedah lebih luas.
7. Hemorroidektomi atau eksisi bedah
Dapat dilakukan untuk mengangkat semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selma pembedahan, sfingter rektal biasanya didilatasi secara digital dan hemorroid diangkat dengan klem dan kauter atau dengan ligasi dan kemudian dieksisi. Setelah prosedur operasi selesai, selang kecil dimaukkan melalui sfingter untuk memungkinkan keluarnya flatus dan darah; penempatan Gelfoan atau kasa Oxigel dapat diberikan diatas luka kanal
G. Pemeriksaan penunjang:
1. Anoskopi
2. Pemeriksaan feses: untuk mengetahui occult-bleding Pemeriksaan penunjang
Diagnosis hemoroid dibuat dengan inspeksi dan proktoskopi. Bila hemoroid dan perdarahan terjadi pada penderita usia pertengahan dan usia lanjut , perlu bagi dokter untuk menyingkirkan adanya kanker
H. Komplikasi
1. Anemia, jarang terjadi
2. trombosis akut pada prolaps hemorroid Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdarahan, trombosis, dan strangulasi. Hemoroid yang mengalami strangulasi adalah hemoroid yang mengalami prolapsus di mana suplai darah dihalangi oleh sfingter ani.
I. Prognosa
Hemorroidektomi tampaknya lebih efektif dan permanen, tetapi mempunyai kerugian kompliksi post operasi.
J. Proses keperawatan
1. Pengkajian
a) Riwayat kesehatan diambil untuk menentukan adanya gatal, rasa terbakar, dan nyeri beserta karakteristiknya.
b) Apakah ini terjadi selama defekasi?
c) Berapa lama ini berakhir?
d) Adakah nyeri abdomen yang dihubungkan dengan hal itu?
e) Apakah terjadi perdarahan pada rectum?
f) Seberapa banyak?
g) Seberapa sering?
h) Apakah warnanya?
i) Adakah rabas lain seperti pus, mukus?
j) Bagaimana pola eliminasi dan penggunaan laksatif?
k) Bagaimana riwayat diet, termasuk masukan serat?
l) Jumlah latihan, tingkat aktifitas dan pekerjaan (khusunys bila mengharuskan duduk dan berdiri lama)?
m) Pengkajian obyektif mencakup: melihat feses akan adanya darah atau mucus, area perianal akan adanya hemorroid, fisura iritasi atau pus.
n) Pemeriksaan fisik:
Inspeksi:
Hemorroid externa: terlihat benjolan diantara kulit perineum.
Hemorroid interna: terlihat benjolan mukosa keluar dari anus
Palpasi :
Pada RT tidak teraba apa-apa kecuali jika ada trombus atau penebalan mukosa
3. Diagnosa keperawatan
a. Konstipasi
b. Ansietas
c. Nyeri
d. Perubahan eliminasi dengan iritasi, tekanan dan sensitivitas pada area rectal/anal sekunder akibat penyakit anorektal dan spasme sfinter pada pasca operatif
e. Perubahan eliminasi urinarius bd rasa takut nyeri pasca operasi
f. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Kuliah ilmu penyakit dalam PSIK – UGM, 2004, Tim spesialis dr. penyakit dalam RSUP dr.Sardjito, yogyakarta.
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications, Philadelphia, USA
Maurytania, A.R, 2003, Buku Saku Ilmu Bedah, Widya Medika, Yogyakarta.
ILEUS DAN INVAGINASI
Anatomi usus halus
Usus halus terdiri dari 3 bagian yaitu duodenum, yejunum dan ileum. Panjang duodenum 26 cm, sedangkan yejunum + ileum : 6 m Dimana 2/5 bagian adalah yejunum (Snel, 89). Sedangkan menurut schrock 1988 panjang usus halus manusia dewasa adalah 5-6 m. Batas antara duodenum dan yejunum adalah ligamentum treits. Yejunum dan ileum dapat dibedakan dari :
1. Lekukan –lekukan yejunum terletak pada bagian atas rongga atas peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak pada bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih merah daripada ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan mukosa yang lebih permanen yaitu plica circularis, lebih besar, lebih banyak dan pada yejunum lebih berdekatan ; sedangkan pada bagian atas ileum lebar, dan pada bagian bawah lipatan ini tidak ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan kanan aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya menmbentuk satu atau dua aarkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan ke dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh darah yang pendek, yang beraal dari 3 atau 4 atau malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan dan lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa ileum bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.
Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :
Perbedaan eksterna
• Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedang kan colon asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
• Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus besar yang terisi.
• Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang berjalan ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
• Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus. Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam tiga pita yaitu taenia coli.
• Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan appandices epiploideae.
• Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar sakular.
Perbedaan interna
• Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
• Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak mempunyai.
• Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer) ditemukan pada mukosa usus halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
ILEUS OBSTRUKTIF
A. . Definisi
Obstruksi di dalam lumen usus atau obstruksi mural yang disebabkan oleh tekanan ekstinsik.
B. . Etiologi
- Adhesi
- Hernia strangulate
- Abses
- Karsinoma-
- Volvulus
- Intususepsi
- Obstipasi
C. Fatofisiologi
Akumulasi isi usus, cairan dan gas terjadi di daerah diatas usus yang mengalami obstruksi. Distensi dan retensi cairan mengurang absorsi cairan dan merangsang lebih banyak sekresi lambung. Dengan peningkatan distensi, tekanan dalam lumen usus yang meningkat , menyebabkan penurunan tekakanan kapiler vena dan arteriola. Pada gilirannnya hal inin akan menyebabkan edema, kongesti, nekrosis dan akhirnaya rupture atau perforasi dari dinding usus, dengan akibat peritonitis.
Muntah refluk dapat terjadi akibat distensi abdomen. Muntah mengakibatkan kehilangan ion hydrogen dan kalium dari lambung, serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah, yang akhirnya mencetuskan alkalosis metabolic. Dehidrasi dan asidosis yang terjadi kemudian , disebabkan karena hilangnya cairan dan natrium. Dengan kehilangan cairan akut, syok hipovolemik dapat terjadi.
D. Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan sinar X pada abdomen (abdomen 3 posisi dan BNO)
• pemeriksaan darah lengkap dan cek elektrolit
E. Pengkajian
Khusus
Usus Halus
• Berat, nyeri abdomen seperti kram , peningkatan distensi
• Distensi ringan
• Mual
• Muntah; pada awal mengandung makanan tak dicerna ; selanjutnya muntah air dan empedu hitam dan fekal.
• Dehidrasi cepat; asidosis
Usus besar
• Ketidak nyamanan abdominal ringan
• Distensi berat
• Muntah fekal laten
• Dehidrasi laten; asidosis jarang
Umum
• Anoreksia dan malaise
• Demam
• Takikardia
• Diaforesis
• Pucat
• Kekauan abdomen
• Kegagalan dalam mengeluarkan feces
• Peningkatan bising usus ( Awal obstruksi )
• Penurunan bising usus ( lanjut )
• Leukositosis
E. Asuhan Keperawatan
1. KEKURANGAN VOLUME CAIRAN (SKUNDER) TERHADAP MUAL DAN MUNTAH, DEMAM DAN ATAU DIAFORESIS
Intervensi Keperawatan
Pantau tanda vital, observasi tingkat kesadaran, dan gejala syok
Pertahankan puasa; kaji tingkat hidrasi
Pntau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotiuk dan vitamin
Pantau selang nasointestinal, ukur haluaran drainas e setiap 8 jam, observasi warna dan konsistensi.
Posisikan klien mika-miki untuk memudahkan pasase kedalam usus; jangan memplester sampai selang pada posisi yang benar.
Pantau selang setiap jam
Kateter uretral inwelling dapat dipasang ; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam pd dokter
Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
Pantau elektrolit, hb dan ht
Siapkan pembedahan sesuai indikasi
Bila pembedahan tidak dilakukan, kerjasama dengan dokter dan mulai pemberian cairan peroral
Observasi ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan pada abdomen dan laporkan pada dokter
Auskultasi bising usus, I jam setelah makan ; diskusikan tidak adanya bising usus pad dokter
Berikan cairan 2500 ml/hr kecuali dikontraindikasikan
Ukur masukan dan haluran sampai adekuat
Observasi warna, konsistensi, dan jumlah pada feces pertama;hindari konstipasi
Hasil yang diharapkan
Klien menunjukan :
• Tanda vital normal
• Masukan dan haluran seimbang
2. NYERI BERHUBUNGAN DENGAN DISTENSI KEKUATAN
Intervensi Keperawatan
• Pertahankan tirah barig pada posisi yang nyaman;jangan menyangga lutut
• Kaji lokasi , berat dan tipe nyeri
• Kaji keefektifan dan pantau efek samping dari analgesic
• Berikan peripode istirahat yang terencana
• Kaji dan ajarkan melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif setiap 4 jam
• Sering menngubah posisi dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit
• Auskultasi bising usus;perhatikan peningkatan kekakuan atau nyeri
Hasil yang diharapkan
Klien:
• Mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi
• Menunjukan sikap relaks
3. ANSIETAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN KRISIS SITUASI DAN PERUBAHAN STATUS KESEHATAN
Intervensi Keperawatan
• Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut
• Jelaskan prosedur dan tindakan serta kuatkan penjelasan dokter tentang penyakit, tindakan dan prognosis
• Pertahankan lingkungan yang tenang tanpa stress
• Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat
Hasil yang diharapkan
Klien;
• Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini
• Mendemontrasikan ketrampilan koping positif dalam menghadapi ansietas
4. KURANGNYA PENGETAHUAN DIKARENAKAN KURANGNYA INFORMASI TENTANG KEBUTUHAN PERAWATAN DI RUMAH
Intervensi Keperawatan
• Diskusikan tentang penatalaksanaan diet
• Jelaskan kebutuhan untuk mengnhindari konstipasi
• Gunakan laksatif alami
• Pertahankan masukan cairan 2500 ml/hr
• Peningkatan aktivitas sesuai toleransi
• Berikan penjelasan tentang gejala nyeri abdomen, kram, distensidan atau mual muntah untuk dilaporkan pada dokter
• Dorong untuk melakukan perawatan lanjutan dengan dokter
Hasil yang diharapkan
Klien;
• Mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit, rencana diet dan potensial komplikasi
• Berpartisipasi pada program tindakan
ILEUS PARALITIK
A. Definisi
Ileus paralitik adalah istilah gawat abdomen yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama karena ketidakmampuan atau kegagalan usus dalam melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan/meneruskan isinya sehingga menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar.
B. Anatomi
Usus halus terbentang dari pylorum sampai caecum dengan panjang 270 cm sampai 290 cm. Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum dan ileum. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejenum. Panjang jejenum 100–110 cm dan panjang ileum 150-160 cm. Kira–kira dua per lima dari sisa usus halus adalah jejenum dan tiga per lima bagian terminalnya adalah ileum. Jejenum mempunyai vaskularisasi yang besar dimana lebih tebal dari ileum. Apendiks vermiformis merupakan tabung buntu berukuran sekitar jari kelingking yang terletak pada daerah ileosekal, yaitu pada apeks sekum.
Secara mikroskopik, dinding usus halus dibagi atas empat lapisan yaitu lapisan serosa, muskularis propria, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Usus halus dipersarafi cabang-cabang kedua sistem saraf otonom. Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut saraf sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri sedangkan serabut saraf parasimpatis mengatur refleks usus.
C. Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan-bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :
1. Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim-enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi
2. Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus besar.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1-4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
D. Etiologi
1. Neurogenik: paskaoperasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis
2. Metabolik: gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik (misal: lupus, sklerosis multipel)
3. Obat-obatan: narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin.
4. Infeksi, seperti: pneumonia, empiema, urosepsis, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya.
5. Iskemia usus.
E. Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh.
Tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik.
Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti.
Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian.
F. Penatalaksanaan
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antibiotik, analgetika, anti inflamasi
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest
2. Konservatif
Laparatomi Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia, pireksia (demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness. Nyeri lokal, hilangnya suara usus lokal, untuk mengetahui secara pasti hanya dengan tindakan laparatomi.
G. Asuhan Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses patologis penyakitnya.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan rasa nyaman nyeri terpenuhi
Kriteria hasil:
Nyeri hilang/berkurang
Rencana tindakan:
a. Kaji tingkat nyeri
Rasional:
Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan dan mengetahui pemberian terapi sesuai indikasi.
b. Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional:
Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan kenyamanan.
c. Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional:
Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna mengurangi rasa nyeri.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai indikasi ( Profenid 3x1 supp ).
Rasional:
Untuk mengurangi rasa nyeri
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan gangguan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
Mual, muntah hilang, nafsu makan bertambah, makan habis satu porsi.
Rencana tindakan:
a. Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah.
Rasional:
Untuk menilai keluhan yang ada yang dapat menggangu pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Kolaborasi pemberian obat anti emetik (Antacid)
Rasional:
Membantu mengurangi rasa mual dan muntah.
3. Potensial terjadi syok hipovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan syok hipovolemik tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Tanda-tanda vital dalam batas normal, volume cairan tubuh seimbang, intake cairan terpenuhi.
Rencana tindakan:
a. Monitor keadaan umum
Rasional:
Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
b. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:
Merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Kaji intake dan output cairan
Rasional:
Untuk mengetahui keseimbangan cairan
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena
Rasional:
Untuk memenuhi keseimbangan cairan
4. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan konstipasi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan gangguan pola eliminasi tidak terjadi
Kriteria hasil: Pola eliminasi BAB normal
Rencana tindakan:
a. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensi feces
Rasional:
Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi pada eliminasi fekal.
b. Auskultasi bising usus.
Rasional:
Untuk mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
c. Anjurkan klien untuk minum banyak
Rasional:
Untuk merangsang pengeluaran feces.
d. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
Rasional:
Untuk memberi kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal-pegal seluruh tubuh.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur teratasi.
Kriteria hasil:
Pola tidur terpenuhi
Rencana tindakan:
a. Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien
Rasional:
Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien dan dapat menentukan kelainan pada pola tidur.
b. Beri lingkungan yang nyaman
Rasional:
Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan aktivitas dan tidur.
c. Batasi pengunjung selama periode istirahat
Rasional:
Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur pasien
d. Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan nyaman
Rasional:
Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
e. Kolaborasi pemberian terapi analgetika
Rasional:
Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur pasien
6. Kecemasan ringan-sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kecemasan tidak terjadi
Kriteria hasil:
Kecemasan berkurang
Rencana tindakan:
a. Kaji rasa cemas klien
Rasional:
Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien
b. Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga
Rasional:
Untuk terbinanya hubungan saling pecaya antara perawat dan pasien.
c. Berikan penjelasan tentang setiap prosedur yang dilakukan terhadap klien
Rasional:
Agar pasien mengetahui tujuan dari tindakan yang dilakukan pada dirinya.
7. Kurang pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan pengetahuan pasien meningkat.
Kriteria hasil:
Tingkat pengetahuan pasien meningkat
Rencana tindakan:
a. Jelaskan pada pasien tentang penyakitnya
Rasional:
Pasien dapat mengetahui mengenai penyakitnya dan mendapatkan informasi yang akurat.
b. Berikan waktu untuk mendengarkan emosi dan perasaan pasien
Rasional:
Agar pasien dapat mengungkapkan perasaannya kepada perawat
c. Beri penyuluhan mengenai penyakitnya
Rasional:
Untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakitnya.
KONSEP DASAR INVAGINASI
A. Pengertian Invaginasi (Intususepsi)
Intususepsi adalah keadaan yang umumnya terjadi pada anak-anak, dan merupakan kejadian yang jarang terjadi pada dewasa, intususepsi adalah masuknya segmen usus proksimal (kearah oral) kerongga lumen usus yang lebih distal (kearah anal) sehingga menimbulkan gejala obstruksi berlanjut strangulasi usus Definisi lain Invaginasi atau intususcepti yaitu masuknya segmen usus (Intesusceptum) ke dalam segment usus di dekatnya (intususcipient). Pada umumnya usus bagian proksimal yang mengalami invaginasi (intussuceptum) memasuki usus bagian distal (intussucipient), tetapi walaupun jarang ada juga yang sebaliknya atau retrograd (Bailey,90) Paling sering masuknya ileum terminal ke kolon. Intususeptum yaitu segmen usus yang masuk dan intususipien yaitu segmen usus yang dimasuki segmen lain
Invaginasi terjadi karena adanya sesuatu di usus yang menyebabkan peristaltik berlebihan, biasanya terjadi pada anak-anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Pada anak-anak 95% penyebabnya tidak diketahui, hanya 5% yang mempunyai kelainan pada ususnya sebagai penyebabnya. Misalnya diiverticulum Meckeli, Polyp, Hemangioma (Schrock, 88). Sedangkan invaginasi pada dewasa terutama adanya tumor yang menyebabkannya (Dunphy 80). Perbandingan kejadian antara pria dan wanita adalah : 3 : 2 (Swenson,90), pada orang tua sangat jarang dijumpai (Ellis ,90). Daerah yang secara anatomis paling mudah mengalami invaginasi adalah ileo coecal, dimana ileum yang lebih kecil dapat masuk dengan mudah ke dalam coecum yang longgar. Invaginasi dapat menyebabkan obstruksi usus baik partiil maupun total. Intususepsi paling sering mengenai daerah ileosekal, dan lebih jarang terjadi pada orang tua dibandingkan dengan pada anak-anak. Pada kebanyakan kasus pada orang tua dapat diketemukan penyebab yang jelas, umumnya tumor yang membentuk ujung dari intususeptum.
Invaginasi atau intususepsi merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila tidak ditangani segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Hampir 70% kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, paling sering dijumpai pada ileosekal. Invaginasi sangat jarang dijumpai pada orang tua, serta tidak banyak tulisan yang membahas hal ini secara rinci.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa, pada anak-anak etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lead pointnya tidak ditemukan sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi lead poinnya dapat ditemukan
B. Klasifikasi
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-masing jenis intususepsi. Perrin dan Linsay memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik, 4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak khas (Tumen 1964).
Invaginasi dapat ditemukan di semua umur, pada penderita dewasa ditemukan 5%kasus obstruksi usus disebabkan karena invaginasi (Ellis,90). Biasanya terdapat tumor pada apex intussuception, pada usus halus biasnya tumor jinak dan tumor ganas pada usus besar. (Ellis 90). Tumor usus halus banyak ditemukan diduodenum, yejunum bagian proksimal dan terminal ileum. Distal yejunum dan proksimal ileum relatif jarang (Leaper 89) dan terbanyak di temukan di terminal ileum (Schrok,88). Tumor usus halus merupakan 1-5% tumor di dalam saluran pencernaan makanan, hanya 10 % yang akan menimbulkan gejala-gejala antara lain perdarahan, penyumbatan atau invaginasi. Perbandingan tumor jinak dan tumor ganas adalah 10 : 1 (Schrock,88). Tumor jinak usus halus biasanya adenoma, leyomiomalipoma, hemangioma, ployposis. Sedangkan tumor ganas biasanya carcinoma, carcinoid tumor, sarcoma, tumor metastase (Leaper,89).
C. Epidemiologi
Angka kejadian intususepsi (invaginasi) dewasa sangat jarang , menurut angka yang pernah dilaporkan adalah 0,08% dari semua kasus pembedahan lewat abdomen dan 3% dari kejadian obstruksi usus , angka lain melaporkan 1% dari semua kasus obstruksi usus, 5% dari semua kasus invaginasi (anak-anak dan dewasa), sedangkan angka-angka yang menggambarkan angka kejadian berdasarkan jenis kelamin dan umur belum pernah dilaporkan, sedangkan segmen usus yang telibat yang pernah dilaporkan Anderson 281 pasien terjadi pada usus halus ( Jejunum, Ileum ) 7 pasien ileocolica, 12 pasien cecocolica dan 36 colocolica dari 336 kasus yang ia laporkan . Desai pada 667 pasien menggambarkan 53% pada duodenum,jejunum atau ileum, 14% lead pointnya pada ileoseccal, 16% kolon dan 5% termasuk appendik veriformis.
Hampir 70 % kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Bisset et all, 1988) sedangkan Orloff mendapatkan 69% dari 1814 kasus pada bayi dan anak-anak umur kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Chairl Ismail 1988 mendapatkan insiden tertinggi dicapai pada anak-anak umur antara 4 sampai dengan 9 bulan. Perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2:1 (Kartono, 1986; Cohn 1976; Chairul Ismail 1988).
Insidensi tertinggi dari inttususepsiterdapat pada usia dibawah 2 tahun (Ellis 1990). Orloof mendapatkan 69% dari1814 kasus pada anak-anak terjadi pada usia kurang dari 1 tahun (Cohn 1976). Pada bayi dan anak-anak intususepsi merupakan penyebab kira-kira 80-90% dari kasus obstruksi. Pada orang dewasa intususepsi lebih jarang terjadi dan diperkirakan menjadi penyebab kira-kira 5% dari kasus obstruksi (Ellis, 1990)
D. Patofisiologi
Berbagai variasi etiologi yang mengakibatkan terjadinya intususepsi pada dewasa pada intinya adalah gangguan motilitas usus terdiri dari dua komponen yaitu satu bagian usus yang bergerak bebas dan satu bagian usus lainya yang terfiksir/atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya, karena arah peristaltik adalah dari oral keanal sehingga bagian yang masuk kelumen usus adalah yang arah oral atau proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik peristaltik usus, pada keadaan khusus dapat terjadi sebaliknya yang disebut retrograd intususepsi pada pasien pasca gastrojejunostomi . Akibat adanya segmen usus yang masuk kesegmen usus lainnya akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus
Perubahan patologik yang diakibatkan intususepsi terutama mengenai intususeptum. Intususepien biasanya tidak mengalami kerusakan. Perubahan pada intususeptum ditimbulkan oleh penekanan bagian ini oleh karena kontraksi dari intususepien, dan juga karena terganggunya aliran darah sebagai akibat penekanan dan tertariknya mesenterium. Edema dan pembengkakan dapat terjadi. Pembengkakan dapt sedemikian besarnya sehingga menghambat reduksi. Adanya bendungan menimbulkan perembesan (ozing) lendir dan darah ke dalam lumen. Ulserasi pada dindidng usus dapat terjadi. Sebagai akibat strangulasi tidak jarang terjadi gangren. Gangren dapat berakibat lepasnya bagian yang mengalami prolaps. Pembengkakan dari intisuseptum umumnya menutup lumen usus. Akan tetapi tidak jarang pula lumen tetap patent, sehingga obstruksi komplit kadang-kadang tidak terjadi pada intususepsi (Tumen 1964).
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik partiil maupun total dan strangulasi (Boyd, 1956). Hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke lumen usus distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian berkontraksi, terjadi edema. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi
Intestinal obstruksi terdapat dua bentuk yaitu : mekanik obstruksi dan neurogenik obstruksi paralitik (Meingot’s 90 ; Bailey 90).
Menurut etiologinya ada 3 keadaan :
• sebab didalam lumen usus
• sebab pada dinding usus
• sebab diluar dinding usus (Meingot’s 90)
Menurut tinggi rendahnya dibagi : obstruksi usus halus letak tinggi , obstruksi usus halus letak rendah dan obstruksi usus besar.
Berdasarkan waktunya dibagi :
1. Acuta intestinal obstruksi
2. Cronik intestinal obstruksi
3. Acut super exposed on cronik
Sekitar 85 % dari obstruksi mekanik usus terjadi di usus halus dan 15 % terjadi di usus besar (Schrock, 82).
Aethiologiobstruksi usus halus menurut Schrock 88 adalah :
1. Adhesion
2. Hernia
3. Neoplasma
4. Intussusception
5. volvulus
6. benda asing
7. batu empedu
8. imflamasi
9. strictura
10. cystic fibrosis
11. hematoma
E. Etiologi
Menurut kepustakaan 90-95% terjadi pada anak dibawah 1 tahun akibat idiopatik. Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dinding ileum terminal berupa hipertrophi jaringan limfoid (plaque payer) akibat infeksi virus (limfadenitis) yang mengkuti suatu gastroenteritis atau infeksi saluran nafas. Keadaan ini menimbulkan pembengkaan bagian intusupseptum, edema intestinal dan obstruksi aliran vena -> obstruksi intestinal -> perdarahan. Penebalan ini merupakan titik permulaan invaginasi.
Pada anak dengan umur > 2 tahun disebabkan oleh tumor seperti limpoma, polip, hemangioma dan divertikel Meckeli. Penyebab lain akibat pemberian anti spasmolitik pada diare non spesifik. Pada umur 4-9 bulan terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pola makan dicurigai sebagai penyebab invaginasi
Invaginasi pada anak-anak umur kurang dari 1 tahun, tidak dijumpai kelinan yang jelas sebagai penyebabnya, sehingga digolongkan sebagai invantile idiophatic intususeption.
Sedangkan pada anak-anak umur lebih dari 2 tahun dapat dijumpai kelinan pada usus sebagai penyebabnya, misalnya divertical meckel, hemangioma, polip. Pada orang tua sangat jarang dijumpai kasus invaginasi (Tumen 1964; kume GA et al, 1985; Ellis 1990), seta tidak banyak tulisan yang membahas tentang invaginasi pada orangtua secar rinci.
Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi, diduga tindakan masyarakat tradisional berupa pijat perut serta tindakan medis pemberian obat anti-diare juga berperan pada timbulnya invaginasi. Infeksi rotavirus yang menyerang saluran pencernaan anak dengan gejala utama berupa diare juga dicurigai sebagai salah satu penyebab invaginasi Keadaan ini merupakan keadaan gawat darurat akut di bagian bedah dan dapat terjadi pada semua umur. Insiden puncaknya pada umur 4 - 9 bulan, hampir 70% terjadi pada umur dibawah 1 tahun dimana laki-laki lebih sering dari wanita kemungkinan karena peristaltic lebih kuat. Perkembangan invaginasi menjadi suatu iskemik terjadi oleh karena penekanan dan penjepitan pembuluh-pembuluh darah segmen intususeptum usus atau mesenterial. Bagian usus yang paling awal mengalami iskemik adalah mukosa. Ditandai dengan produksi mucus yang berlebih dan bila berlanjut akan terjadi strangulasi dan laserasi mukosa sehingga timbul perdarahan. Campuran antara mucus dan darah tersebut akan keluar anus sebagai suatu agar-agar jeli darah (red currant jelly stool).
Keluarnya darah per anus sering mempersulit diagnosis dengan tingginya insidensi disentri dan amubiasis. Ketiga gejala tersebut disebut sebagai trias invaginasi. Iskemik dan distensi sistem usus akan dirasakan nyeri oleh pasien dan ditemukan pada 75% pasien. Adanya iskemik dan obstruksi akan menyebabkan sekuestrisasi cairan ke lumen usus yang distensi dengan akibat lanjutnya adalah pasien akan mengalami dehidrasi, lebih jauh lagi dapat menimbulkan syok. Mukosa usus yang iskemik merupakan port de entry intravasasi mikroorganisme dari lumen usus yang dapat menyebabkan pasien mengalami infeksi sistemik dan sepsis.
Intususepsi pada dewasa kausa terbanyak adalah keadaan patologi pada lumen usus, yaitu suatu neoplasma baik yang bersifat jinak dan atau ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon sebab terbanyak intususepsi pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak (diverticle meckel’s, polip) 12/25 kasus sedangkan pada kolon adalah bersifat ganas (adenocarsinoma)14/16 kasus. Etiologi lainnya yang frequensiny labih rendah seperti tumor extra lumen seperti lymphoma, diarea , riwayat pembedahan abdomen sebelumnya, inflamasi pada apendiks juga pernah dilaporkan intususepsi terjadi pada penderita AIDS , pernah juga dilaporkan karena trauma tumpul abdomen yang tidak dapat diterangkan kenapa itu terjadi dan idiopatik .
Perbedaan dalam etiologi merupakan hal utama yang membedakan kasus yang terjadi pada bayi/ anak-anak penyebab intususepsi tidak dapat diketahui pada kira-kira 95% kasus. Sebaliknya 80% dari kasus pada dewasa mempunyai suatu penyebab organik, dan 65% dari penyebabnya ini berupa tumor baik benigna maupun maligna.
Oleh karenannya banyak kasus pada orang dewasa harus ditangani dengan anggapan terdapat keganasan. Insidensi tumor ganas lebih tinggi pada kasus yang hanya mengenai kolon saja (Cohn 1976).
F. Gambaran Klinis
Rasa sakit adalh gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan adanya serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa sakit berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dnegan serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah, keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang teraba di perut. Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena. Semakin tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia disebabkan oleh kembalinya aliran darahdari usus yang mengalami intususepsi. Terdapatnya sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya tidak ditemukan.
Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof, rasa sakit ditemukan pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan adanya masa abdomen pada 73% kasus (Cohn, 1976).
Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya seperti intususepsi pada anak-anak. Pada orng dewaasa sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan lain (Cohn, 1976). Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan radiologis seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan radiologis sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak terdapat intususepsi pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang, meskipun pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak memberikan hasil yang positif.
Pada kasus intususepsi khronis ini, gejala yang timbul seringkali tidak jelas dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap. Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan (Tumen, 1964).
G. Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus pada + 20% kasus.
Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala paling awal invaginasi, didapatkan pada 85% kasus. Pasien biasanya mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan
Muntah reflektif sampai bilus menunjukkan telah terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai pada + 75% pasien invaginasi. Muntah dan nyeri sering dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien. Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas, mulai dari makanan dan minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah dialami seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya distensi sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%.
Gejala lain yang dijumpai berupa distensi, pireksia, Dance’s Sign dan Sousage Like Sign, terdapat darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dance’s Sign dan Sousage Like Sign dijumpai pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal. Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut sebagai Dance’s Sign. Pemeriksaan colok dubur teraba seperti portio uteri, feces bercampur lendir dan darah pada sarung tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney signpada potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai diagnostik maupun terapetik.
TRIAS INVAGINASI :
• Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
• Muntah warna hijau (cairan lambung)
• Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) à currant jelly stool
Obstruksi usus ada 2 :
• Mekanis à kaliber usus tertutup
• Fungsional à kaliber usus terbuka akibatperistaltik hilang
Pemeriksaan Fisik :
• Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm counter.
• Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan
• Nyeri tekan (+)
• Dancen sign (+) à Sensai kekosongan padakuadran kanan bawah karena masuknya sekum pada kolon ascenden
• RT : pseudoportio(+), lender darah (+) à Sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi usus yang lama
Radiologis :
Foto abdomen 3 posisi
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran plika circularis usus) à DAH
Colon In loop berfungsi sebagai :
• Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi
• Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi dan kejadian < 24 jam
Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit, meskipun pada umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus tanpa dapat memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed tomography), meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan pembedahan.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisik. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada barium di tempat ini.
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan (Cohn 1976).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian kasus intususepsi mempunyai riwayat perjalanan penyakit yang khronis, bahkan kadang-kadnag mencapai waktu bertahun – tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan padaorng dewasa daripada anak-anak (Tumen 1964). Biasanya ditemukan suatu kelainanlokal pada usus namun Goodal (cit Tumen, 1964) telah mengumpulkan dari literatur 122 kasus intususepssi khroni primeir pada orang dewasa. Beberapa penulis tidak menyetujui konsep bahwa intususepsi tersebut berlangsung terus menerus dalam waktu demikian lama. Stallman (cit Tumen 1964) mempertanyakan tepatnya penggunaan istilah intususepsi khronis. Goldman dan Elman (cit Tumen 1964) mengemukakan keyakinannya bahwa penderita tidak mungkin dapat bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1 minggu. Para penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada kasus seperti ini adalah adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. Adanya mesenterium yang panjang, yang memungkinkan invaginasi terjadi tanpa gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat menyebabkan terpeliharanya integritas striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu yang lama dengan status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya terdapat suatu serangan yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi spontan, dan tindakan bedah menjadi diperlukan.
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu melalui :
1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis seperti diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultra sonography, Barium Enema dan Computed Tomography)
H. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama, maka akan memberikan prognosa yang lebih baik.
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan :
Reduksi hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan kateter dengan tekanan tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
Reduksi manual (milking) dan reseksi usus
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka lekosit, mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang ditandai dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera dipersiapkan untuk suatu operasi. Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomose “end to end” apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan exteriorisasi atau enterostomi.
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi, dengan tidak usah melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika ditemukan kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan Machleder, 1975 cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.
1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit
2. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena kausa terbanya intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi – tepi segmen usus yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose .
3. Pasca Operasi
• Hindari Dehidrasi
• Pertahankan stabilitas elektrolit
• Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
• Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu motilitas usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya adalh besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-hati, tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari / memperkecil timbulnya short bowel syndrom.
Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:
1. adanya reseksi usus yang etensif
2. diarhea
3. steatorhe
4. malnutrisi
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequat. (Schrock, 1989).
INTUSEPSI
A. Pengertian
Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya, invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002)
Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)
B. Etiologi
Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat hubungan dengan infeksi – infeksi virus adeno dan keadaan tersebut dapat mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang banyak terdapat di dalam ileum mungkin berhubungan dengan keadaan tersebut, bercak jaringan limfoid yang membengkak dapat merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan intususepsi. Pada puncak insidens penyakit ini, saluran cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam bahan baru. Pada sekitar 5% penderita dapat ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, seperti divertikulum meckeli terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang dapat didiagnosis, intususepsi – intususepsi ini bersifat iloileal.
C. Patofisiologi dan Pathways
Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus dan syok.
D. Manifestasi Klinik
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba – tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya berbentuk seperti pisang (silindris).
Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos abdomen memperlihatkan kepadatan seperti suatu massa di tempat intususepsi
2. Foto setelah pemberian enema barium memperlihatkan gagguan pengisisan atau pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsi tersebut.
3. Plat datar dari abdomen menunjukkan pola yang bertingkat (invaginasi tampak seperti anak tangga).
4. Barium enema di bawah fluoroskopi menunjukkan tampilan coiled spring pada usus.
5. Ultrasonogram dapat dilakukan untuk melokalisir area usus yang masuk.
F. Prinsip pengobatan dan managemen keperawatan
1. Penurunan dari intususepsi dapat dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil.
2. Reduksi bedah :
a. Perawatan prabedah:
• Rutin
• Tuba naso gastrik
• Koreksi dehidrasi (jika ada)
b. Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini juga membantu penurunan edema.
c. Plasma intravena harus dapat diperoleh pada kasus kolaps.
d. Jika intususepsi tidak dapat direduksi, maka diperlukan reseksi dan anastomosis primer.
3. Penatalaksanaan pasca bedah:
a. Rutin
b. Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil
c. Pemberian oksigen
d. Dilanjutkannya cairan intravena
e. Antibiotika
f. Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga kelanjutan dari lambung dipulihkan.
g. Observasi fungsi vital
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pengkajian fisik secara umum
b. Riwayat kesehatan
c. Observasi pola feses dan tingkah laku sebelum dan sesudah operasi
d. Observasi tingkah laku anak/bayi
e. Observasi manifestasi terjadi intususepsi:
• Nyeri abdomen paroksismal
• Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada
• Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri
• Muntah
• Letargi
• Feses seperti jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif.
• Feses tidak ada meningkat
• Distensi abdomen dan nyeri tekan
• Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen
• Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal.
• Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 410C
• Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak
f. Observasi manifestasi intususepsi yang kronis
• Diare
• Anoreksia
• Kehilangan berat badan
• Kadang – kadang muntah
• Nyeri yang periodic
• Nyeri tanpa gejala lain
g. Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema dan ultrasonogram
2. Masalah Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
b. Syok hipolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.
c. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.
d. Inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.
e. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
3. Perencanaan
a. Preoperasi
• Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi yang dirasakan anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.
Intervensi:
- Observasi perilaku bayi sebagai indikator nyeri, dapat peka rangsang dan sangat sensitif untuk perawatan atau letargi atau tidak responsive.
- Perlakuan bayi dengan sangat lembut.
- Jelaskan penyebab nyeri dan yakinkan orangtua tentang tujuan tes diagnostik dan pengobatan.
- Yakinkan anak bahwa analgesik yang diberikan akan mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.
- Jelaskan tentang intususepsi dan reduksi hidrostatik usus yang dapat mengurangi intususepsi.
- Jelaskan resiko terjadinya nyeri yang berulang.
- Kolaborasi: berikan analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
• Diagnosa keperawatan: syok hipovolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.
Tujuan: volume sirkulasi (keseimbangan cairan dan elektrolit) dapat dipertahankan.
Kriteria Hasil: tanda – tanda syok hipovolemik tidak terjadi.
Intervensi:
- Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardi, takipnea, demam.
- Pantau masukan dan haluaran.
- Perhatikan adanya mendengkur atau pernafasan cepat dan dangkal jika berada pada keadaan syok.
- Pantau frekuensi nadi dengan cernat dan ketahui rentang nadi yang tepat untuk usia anak.
- Laporkan adanya takikardi yang mengindikasikan syok.
- Kurangi suhu karena demam meningkatkan metabolisme dan membuat oksigenasi selama anestesi menjadi lebih sulit.
- Kolaborasi:
Lakukan pemeriksaan laboratorium: Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretic sesuai indikasi untuk memelihara volume darah sirkulasi.
• Diagnosa keperawatan: ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.
Tujuan: rasa cemas pada anak dapat berkurang
Kriteria hasil: anak dapat beristirahat dengan tenang dan melakukan prosedur tanpa cemas.
Intervensi:
- Beri pendidikan kesehatan sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi rasa cemas.
- Orientasikan klien dengan lingkungan yang masih asing.
- Pertahankan ada orang yang selalu menemani klien untuk meningkatkan rasa aman.
- Jelaskan alasan dilakukan tindakan pembedahan.
- Jelaskan semua prosedur pembedahan yang akan dilakukan.
b. Post operasi
• Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.
Intervensi:
- Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan.
- Masukkan selang rektal jika diindikasikan, untuk membebaskan udara.
- Dorong untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria.
- Berikan perawatan mulut untuk memberikan rasa nyaman.
- Lubrikasi lubang hidung untuk mengurangi iritasi.
- Berikan posisi yang nyaman pada anak jika tidak ada kontraindikasi.
- Kolaborasi:
Berikan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri.
Berikan antiemetik sesuai pesanan untuk rasa mual dan muntah.
• Diagnosa keparawatan: inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.
Tujuan: termoregulasi tubuh anak normal.
Kriteria Hasil: tidak ada tanda – tanda kenaikan suhu.
Intervensi:
- Gunakan tindakan pendinginan untuk mengurangi demam, sebaiknya 1 jam setelah pemberian antipiretik.
- Meningkatkan sirkulasi udara.
- Mengurangi temperatur lingkungan.
- Menggunakan pakaian yang ringan / tipis.
- Paparkan kulit terhadap udara.
- Gunakan kompres dingin pada kulit.
- Cegah terjadi kedinginan, bila anak menggigil tambahkan pakaian.
- Monitor temperatur.
- Kolaborasi: berikan antipiretik sesuai dengan berat badan bayi.
4. Evaluasi
a. Nyeri pada abdomen dapat berkurang
b. Syok hipovolemik dapat teratasi dengan segera melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Obstrusi usus dapat teratasi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985
Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott, 1999
Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric nursing, America, Mosby, 2001
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001
Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby, 1996
akpergapu-jambi.ac.id