1. Pengertian Hipertensi Definisi atau pengertian hipertensi banyak dikemukakan oleh para ahli. WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah diatas 160/95 mmhg, sementara itu Smelttzer & Bare (2002:896) mengemukakan bahwa hipertensi merupakan tekanan darah persisten atau terus menerus sehingga melebihi batas normal dimana tekanan sistolik diatas 140 mmhg dan tekanan diastole diatas 90 mmhg. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh doenges (2000:42). Pendapat senada juga disampaikan oleh TIM POKJA RS Harapan Kita, Jakarta (1993:199) dan Prof. Dr. dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007), yang menyatakan bahwa hipertensi adalah kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 150 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Terdapat perbedaan tentang batasan tentang hipertensi seperti diajukan oleh kaplan (1990:205) yaitu pria, usia kurang dari 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah waktu berbaring diatas atau sama dengan 130/90mmhg, sedangkan pada usia lebih dari 45 tahun dikatakan hipertensi bila tekanan darah diatas 145/95 mmhg. Sedangkan pada wanita tekanan darah diatas sama dengan 160/95 mmhg. Hal yang berbeda diungkapkan TIM POKJA RS Harapan Kita (1993:198) pada usia dibawah 40 tahun dikatakan sistolik lebih dari 140 mmhg dan untuk usia antara 60-70 tahun tekanan darah sistolik 150-155 mmHg masih dianggap normal. Hipertensi pada usia lanjut didefinisikan sebagai tekanan sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg ditemukan dua kali atau lebih pada dua atau lebih pemeriksaan yang berbeda. (JNC VI, 1997). Untuk usia kurang dari 18 tahun dikatakan hipertensi bila dua kali kunjungan yang berbeda waktu didapatkan tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih, atau apabila tekanan darah sistolik pada beberapa pengukuran didapatkan nilai yang menetap diatas 140mmHg (R. P. Sidabutar dan Waguno P, 1990). Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan kenaikan tekanan darah dimana tekanan sistolik lebih dari 140 mmhg dan atau diastolik lebih dari 90 mmhg. 2. Klasifikasi hipertensi Klasifikasi hipertensi juga banyak diungkapkan oleh para ahli, diantaranya WHO menetapkan klasifikasi hipertensi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat I tekanan darah meningkat tanpa gejala-gejala dari gangguan atau kerusakan sistem kardiovaskuler. Tingkat II tekanan darah dengan gejala hipertrofi kardiovaskuler, tetapi tanpa adanya gejala-gejala kerusakan atau gangguan dari alat atau organ lain. Tingkat III tekanan darah meningkat dengan gejala – gejala yang jelas dari kerusakan dan gangguan faal dari target organ. Sedangkan JVC VII, Klasifikasi hipertensi adalah : Kategori Tekanan sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg) Normal < 130 <85 Normal Tinggi 130-139 85-89 Hipertensi: Stage I (ringan) Stage II (sedang) Stage III (berat) 140-159 160-179 180-209 90-99 100-109 110-120 Klasifikasi lain diutarakan oleh Prof. Dr. dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007), mengklasifikasikan tekanan darah tinggi menjadi 4 tingkatan yaitu normal (SBP = Sistole Blood Pressure < 120 mm Hg dan Distole Blood Pressure = DBP < 80 mm Hg), pra hipertensi (SBP 120-139 mm Hg dan DBP 80-89 mm Hg), hipertensi tahap 1 (SBP 140-159 mm Hg dan DBP 90-99 mm Hg) dan hipertensi tahap 2 (SBP >= 160 dan DBP >= 100. mm Hg.) Sedangkan menurut TIM POKJA RS Harapan Kita, Jakarta, membagi hipertensi 6 tingkat yaitu hipertensi perbatasan (borderline) yaitu tekanan darah diastolik, normal kadang 90-100mmHg. Hipertensi ringan, tekanan darah diastolik 90-140mmHg. Hipertensi sedang, tekanan darah diastolik 105-114 mmHg. Hipertensi berat tekanan darah diastolik >115mmHg. Hipertensi maligna/ krisis yaitu tekanan darah diastolik lebih dari 120 mmHg yang disertai gangguan fungsi target organ. Hipertensi sistolik yaitu tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg. Pada hipertensi krisis dibagi lagi menjadi 2, menurut melalui TIM POKJA RS Harapan Kita (2003:63) yaitu: hipertensi emergensi akut, membahayakan jiwa, hal ini terjadi karena disfungsi atau kerusakan organ target. Yang kedua adalah hipertensi urgensi yaitu hipertensi berat tanpa ada gangguan organ target akan tetapi tekanan darah perlu diturunkan dengan segera atau secara bertahap dalam waktu 24-48 jam, sebab penurunan tekanan darah dengan cepat akan menimbulkan efek ischemik pada organ target. 3. Etiologi Penyebab terjadinya hipertensi adalah terdiri dari berbagai faktor, diantaranya Reeves& lockhart(2001:114) mengemukakan bahwa Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan hipertensi adalah stress, kegemukan, merokok, hipernatriumia). Sedang Long (1995:660), TIM POKJA RS Harapan Kita (2003:63) dan Yayasan jantung Indonesia (2007) menambahkan bahwa Penyebab hipertensi dapat dibedakan menurut jenis hipertensi yaitu hipertensi primer (essensial) merupakan tekenan darah tinggi yang disebabkan karena retensi air dan garam yang tidak normal, sensitifitas terhadap angiotensin, obesitas, hiperkolesteroemia, emosi yang tergannggu /stress dan merokok. Sedangkan hipertensi sekunder merupakan tekanan darah tinggi yang disebabkan karena penyakit kelenjar adrenal, penyakit ginjal, toxemia gravidarum, peningkatan tekanan intra cranial, yang disebabkan tumor otak, dan pengaruh obat tertentu missal obat kontrasepsi. Dari uraian pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab hipertensi beragam diantaranya adalah: stress, kegemukan, merokok, hipernatriumia, retensi air dan garam yang tidak normal, sensitifitas terhadap angiotensin, obesitas, hiperkolesteroemia, penyakit kelenjar adrenal, penyakit ginjal, toxemia gravidarum, peningkatan tekanan intra cranial, yang disebabkan tumor otak, pengaruh obat tertentu missal obat kontrasepsi, asupan garam yang tinggi, kurang olah raga, genetik, Obesitas, Aterosklerosis, kelainan ginjal, tetapi sebagian besar tidak diketahui penyebabnya. 4. Patofisiologi Menurut Smeltzer & Bare (2002:898) mengatakan bahwa Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medulla oblongata di otak dimana dari vasomotor ini mulai saraf simpatik yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolomna medulla ke ganglia simpatis di torax dan abdomen, rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system syaraf simpatis . Pada titik ganglion ini neuron prebanglion melepaskan asetilkolin yang merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan melepaskannya nere frineprine mengakibatkan konskriksi pembuluh darah. Factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriktif yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah akibat aliran darah yang ke ginjal menjadi berkurang /menurun dan berakibat diproduksinya rennin, rennin akan merangsang pembentukan angiotensai I yang kemudian diubah menjadi angiotensis II yang merupakan vasokonstriktoryang kuat yang merangsang sekresi aldosteron oleh cortex adrenaldimana hormone aldosteron ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal dan menyebabkan peningkatan volume cairan intra vaskuler yang menyebabkan hipertensi. TIM POKJA RS Harapan Kita (2003:63) menyebutkan patofisiologis hipertensi adalah: pada hipertensi primer perubahan patologisnya tidak jela didalam tubuh dan organ-organ. Terjadi secara perlahan yang meluas dan mengambil tempat pada pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil pada organ – organ seperti jantung, ginjal dan pembuluh darah otak. Pembuluh seperti aorta, arteri koroner, arteri basiler yang ke otak dan pembuluh darah perifer di ekstremitas menjadi sklerotik dan membengkak. Lumen-lumen menjepit, aliran darah ke jantung menurun, bergitu juga ke otak dan ekstremitas bawah bisa juga terjadi kerusakan pembuluh darah besar. 5. Manifestasi Klinik Menurut TIM POKJA RS Harapan Kita (2003:64) mengemukakan bahwa manifestasi klinik yang sering tidak tampak. Pada beberapa pasien mengeluh sakit kepala, pusing, lemas, sesak nafas, kelelahan, kesadaran menurun, mual, gelisah, muntah, kelemahan otot,epitaksis bahkan ada yang mengalami perubahan mental. Sedangkan menurut FKUI (1990:210) dan Dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007) hipertensi esensial kadang tampa gejala dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Namun terdapat pasien yang mengalami gejala dengan sakit kepala, epitaksis. 6. Penatalaksanaan Terdapat 2 cara penanggulangan hipertensi menurut FKUI (1990: 214-219) yaitu dengan non farmakologis dan dengan farmakologis. Cara non farmakologis dengan menurunkan berat badan pada penderita yang gemuk, diet rendah garam dan rendah lemak, mengubah kebiasaan hidup, olah raga secara teratur dan kontrol tekanan darah secara teraut. Sedangkan dengan cara farmakologis yaitu dengan cara memberikan obat-obatan anti hipertensi seperti diuretik seperti HCT, Higroton, Lasix. Beta bloker seperti propanolol. Alfa bloker seperti phentolamin, prozazine, nitroprusside captapril. Simphatolitic seperti hidralazine, diazoxine. Antagonis kalsium seperti nefedipine (adalat). Pengobatan hipertensi harus dilandasi oleh beberapa prinsip menurut FKUI (1990) yaitu pengobatan hipertensi sekunder harus lebih mendahulukan pengobatan kausal, pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi, upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi, pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang bahkan mungkin seumur hidup, pengobatan dengan menggunakan standard triple therapy (STT) menjadi dasar pengobatan hipertensi. Tujuan pengobatan dari hipertensi adalah menurunkan angka morbiditas sehingga upaya dalam menemukan obat anti hipertensi yang memenuhi harapan terus dikembangkan. 7. Komplikasi Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit hipertensi menurut TIM POKJA RS Harapan Kita (2003:64) dan Dr. Budhi Setianto (Depkes, 2007) adalah diantaranya : penyakit pembuluh darah otak seperti stroke, perdarahan otak, transient ischemic attack (TIA). Penyakit jantung seperti gagal jantung, angina pectoris, infark miocard acut (IMA). Penyakit ginjal seperti gagal ginjal. Penyakit mata seperti perdarahan retina, penebalan retina, oedema pupil. 8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang menurut FKUI (2003:64) dan Dosen Fakultas kedokteran USU, Abdul Madjid (2004), meliputi pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ dan factor resiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urin analisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol total, HDL, LDL dan pemeriksaan EKG. sebagai tambahan dapat dilakukan pemerisaan lain, seperti klirens kreatinin, protein, asam urat, TSH dan ekordiografi. Pemeriksaan diagnostik meliputi BUN /creatinin (fungsi ginjal), glucose (DM) kalium serum (meningkat menunjukkan aldosteron yang meningkat), kalsium serum (peningkatan dapat menyebabkan hipertensi: kolesterol dan tri gliserit (indikasi pencetus hipertensi), pemeriksaan tiroid (menyebabkan vasokonstrisi), urinanalisa protein, gula (menunjukkan disfungsi ginjal), asam urat (factor penyebab hipertensi) EKG (pembesaran jantung, gangguan konduksi), IVP (dapat mengidentifikasi hipertensi. Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Mengenal Hipertensi, (Online), (http:// depkes.co.id/stroke.html) Tim POKJA RS Jantung Harapan Kita. (2003). Standar Asuhan Keperawatan Kardiovaskuler. Direktorat Medik dan Pelayanan RS Jantung dan pembuluh darah Harapan kita. Jakarta FKUI. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta DIKLIT RS Jantung Harapan Kita. (1993). Dasar-dasar Keperawatan Kardiovaskuler. RS Jantung Harapan Kita. Jakarta (Tanpa nama). (2007).hipertensi.(online).http://www.sehat-bugar.com, diakses tanggal 31 oktober 2007, diakses tanggal 31 Oktober 2007) Puskesmas palaran. (2006). Hipertensi. (Online), (http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/hipertensi.html, diakses tanggal 31 Oktober 2007)
Kamis, 23 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar