Oleh : Mahyuliansyah
1. Apa yang dimaksud dengan remaja ?
Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 s/d 24 th Namun jika pada usia remaja sudah menikah maka ia sudah tergolong dalam kelompok dewasa. Sebaliknya jika usia remaja sudah dilewati tapi masih tergantung pada orang tua maka ia masih digolongkan dalam kelompok remaja.( Situs.kesrepro.info/krr/referensi).
2. Permasalahan apa yang di temui saat remaja ?
• Jumlah penduduk usia 10 – 24 tahun yang besar ( 60 juta )
• Masa transisi kehidupan ( youth five life transitions)
1. Melanjutkan sekolah (Continue learning)
2. Mencari pekerjaan (Star working)
3. Memulai berkeluarga (Form families)
4. Menjadi anggota masyarakat (exercise citizenship)
5. Mempraktikkan hidup sehat (practise healthy life)
• Globalisasi liberalisasi norma sikap dan prilaku remaja
• Resiko Triad ( Seksulitas, Narkoba, dan HIV / AIDS )
3. Bagaimana mengatasi permasalahan tersebut ?
Komitmen pemerintah, dukungan, institusi pendidikan, keluarga dan kelompok remaja meningkatkan efektivitas program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
Lalu, APA
SEBENARNYA
PROGRAM KRR itu ?
Program untuk MEMFASILITASI terwujudnya TEGAR REMAJA, Yaitu :
1. Berprilaku Sehat
2. Terhindar infeksi yang menyerang organ kelamin , HIV/AIDS,dan NAPZA
3. Menunda Usia Perkawinan
4. Bercita-cita mewujudkan KKBS (Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera)
5. Menjadi idola, model, contoh, sumber informasi bagi kawannya
MELALUI
• KIE
• Konseling dan rujukan medis
• Pengembangan kecerdasan
• Olah raga dan kesenian
• Kegiatan khas remaja
Berperilaku Sehat
Perilaku sehat sehat secara umum yaitu menerapkan konsep Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yg menjadikan seseorang / keluarga dpt menolong diri sendiri di bidang kesehatandan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya.
PHBS BIDANG KESEHATAN LINGKUNGAN
• Cuci tangan dgn sabun & air stlh BAB
• Menghuni rumah sehat
• Menggunakan air bersih
• Menggunakan jamban
• Memberantas jentik nyamuk
• Membuang sampah ditptnya
• Cuci tangan sebelum dan sesudah makan
PHBS BIDANG GAYA HIDUP SEHAT
• Tidak merokok dalam rumah
• Melakukan aktifitas fisik / olahraga setiap hari
• Makan sayur dan buah-buahan setiap hari
Perilaku sehat remaja secara khusus yaitu menerapkan konsep Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi remaja adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan social yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran dan system reproduksi yang dimiliki remaja. Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai factor yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi. (Situs.kesrepro.info/krr/referensi).
Dukungan terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja berupa :
1. Fasilitasi Seksualitas
2. Fasiltasi HIV/AIDS
3. Fasiltasi Napza
Melalui Komunikasi Imformasi dan Edukasi (KIE) dari ke tiga kegiatan tersebut diharapkan remaja dapat mengenal :
1. Pengenalan masalah system reproduksi, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja).
2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia perkawinan serta merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginan.
3. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kesehatan reproduksi.
4. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi.
5. Pengaruh social dan media terhadap perilaku seksual.
6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya.
7. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negative.
8. Hak-hak reproduksi.
( Situs.kesrepro.info/krr/referensi).
Sumber :
Situs.kesrepro.info/krr/referensi
Materi Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN
Materi Penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Sabtu, 28 Februari 2009
REMAJA DAN PERMASALAHANNNYA
PENYAKIT KULIT DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Oleh : H.Sugiharni
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan, pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut segala segi kehidupan masyarakat dan berlangsung pada setiap individu, tak terkecuali mereka yang sedang menjalani pidana atau ditahan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara/Rutan (DepKumHAM RI, 2008: 1).
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Penghuni LP bisa narapidana (napi) yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan, atau tahanan yaitu tersangka (terdakwa) yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. (http://id.wikipedia.org, diakses tanggal 11 Desember 2008).
Narapidana (napi), tahanan dan anak didik pemasyarakatan juga merupakan anggota masyarakat serta mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Salah satu aspek penting yang memerlukan perhatian adalah keadaan kesehatan baik fisik, mental maupun sosial. Perlakuan dan pelayanan kesehatan bagi napi, tahanan atau anak didik pemasyarakatan dapat dipakai sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang hukum baik secara nasional ataupun internasional (DepKumHAM RI, 2008: 1)
Napi dan tahanan sangat rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit karena kehidupan di dalam Lapas memang jauh dari kelayakan hidup. Mereka terkadang harus tidur bertumpuk-tumpuk karena sel penuh sesak. Ruangan sel seluas 1,5 meter x 2,5 meter diisi 6-8 orang bahkan lebih. (http://www.majalahkonstan.com, diakses tanggal 10 Desember 2008). Kondisi Lapas yang overkapasitas dengan sarana, prasarana, lingkungan dan sanitasi yang kurang memadai diduga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan tingginya angka kesakitan di Lapas dan Rutan (DepKumHAM RI, 2008: 2). Rendahnya biaya kesehatan untuk narapidana dan tahanan juga dipersoalkan sejumlah kalangan. Ongkos pengobatan yang hanya Rp.2.500 setiap orang per tahun sangat tidak layak. Padahal perawatan kesehatan napi dan tahanan merupakan hak yang harus dipenuhi negara sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Harian Kompas, 2006: 16).
Penyebaran berbagai penyakit menular sangat memungkinkan terjadi di dalam Lapas dan Rutan. Tingkat kepadatan hunian yang melebihi kapasitas membuat kontak langsung antar napi dan tahanan sulit dihindari. Bila salah satu napi atau tahanan menderita suatu penyakit menular maka napi atau tahanan lain terutama yang berada dalam satu sel dengan cepat akan terjangkiti penyakit tersebut.
Hasil laporan data kesehatan tahun 2006 dan 2007 yang diterima Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa penyakit kulit menempati urutan pertama dari 10 besar penyakit di Lapas dan Rutan seluruh Indonesia (DepKumHAM RI, 2008: 1).
Dalam kondisi dimana penularan penyakit kulit akibat faktor lingkungan/hunian yang padat seperti di Lapas yang overkapasitas sulit dihindari maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memelihara personal hygiene (kebersihan diri) dengan baik. Menurut Pradjawanto (2008) peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan personal hygiene terhadap klien dapat membantu mempertahankan atau memelihara integritas sel-sel kulit agar mendapat nutrisi dan hidrasi yang diperlukan untuk mencegah/menahan serangan penyakit (http://www.kreasimahasiswa.page.tl, diakses tanggal 16 Desember 2008). Kebutuhan personal hygiene berupa perawatan kesehatan kulit dapat dilakukan secara mandiri oleh napi atau tahanan yang mampu secara fisik.
Menurut Skiner (1938) yang dikutip oleh Notoadmojo “perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan”. Dari batasan tersebut, pemenuhan kebutuhan personal hygiene mandiri oleh narapidana dapat diklasifikasikan sebagai perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), yaitu perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
Kamis, 26 Februari 2009
Jaminan Mutu dalam Keperawatan Komunitas
Oleh : Mahyuliansyah
Mutu atau kualitas merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi harapan atau melebihi harapan.
Jaminan mutu merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan.
Prinsif Jaminan Mutu
1. Berfokus pada klien. Ketika melakukan upaya keperawatan seorang perawat komunitas memandang klien secara komprehensip (keseluruhan) yakni melihat klien berdasarkan biopsikososial-kultural
2. Berorintasi pada sistem dan proses. Setiap alur kegiatan berdasarkan tata kerja yang berlaku dan dilaksanakan secara sistematis.
3. Data sebagai dasar pengambilan keputusan. Untuk menentukan tindakan dan upaya keperawatan sesuai dengan data yang didapat sehingga tidak terjadi kesalahan prosedur.
4. Mendorong suatu pendekatan untuk memecahkan masalah dan perbaikan mutu
. Dari hasil upaya yang dilakukan apakah sudah memenuhi standar, apabila belum maka perlu perbaikan.
Demensi mutu pelayanan
1. Tecnical competence (kompetensi teknis). Perawat komunitas harus mempunyai kemampuan memberikan pelayanan, keterampilan dan penampilan sesuai dengan ilmu dan seni keperawatan. Kompetensi teknis ini melihat tingkatan ilmu yang didapat.
2. Acces to service (akses terhadap pelayanan).
Keadaan demografis, geografis, sosek tidak mempengaruhi dalam pelayanan. Upaya keperawatan tidaklah terpengaruh biarpun medannya sulit dan terpencil. Standar pelayanan keperawatan tetaplah sama.
3. Efektiveness (kesanghilan).
Sesuai petunjuk dan prosedur, teknologi yang tepat.
Hal ini sudah pasti karena pelayanan keperawatan haruslah sesuai dengan standarnya kalau tidak ingin dikatakan salah atau malpraktik.
4. Interpersonal relation (hubungan antar individu). Hubungan interpersonal yang baik menumbuhkan rasa saling percaya dan percaya diri ketika melakukan upaya keperawatan sehingga tidak ada keraguan untuk menerapkan standar keperawatan.
5. Efficiency (kemangkusan)
Sumber daya yang berpotensi optimal.
Tenaga keperawatan sesuai dengan kompetensinya memberikan tindakan dan upaya keperawatan
6. Continuity (kesinambungan).
Keperawatan yang dilaksanakan harus sampai selesai tidak terputus-putus sehingga masalah dapat terpecahkan.
7. Safety (keamanan). Upaya keperawatan haruslah aman bagi klien dan aman juga bagi perawat serta lingkungan.
8. Amenitis (kenyamanan). Kenyamanan sangat mendukung ketika dilakukan upaya keperawatan sehingga tidak ada rasa malu atau risih. Nyaman dari segi waktu, tempat dan lingkungan.
Bentuk pelayanan keperawatan yang sesuai dengan standar, aman, terjangkau dan berdampak terhadap penurunan angka kematian, kesakitan, cacat serta malnutrisi adalah jaminan mutu dalam melaksanakan keperawatan komunitas.
Bahan bacaan
Materi pelatihan tenaga surveilans Puskesmas tahun 1997
Selasa, 24 Februari 2009
Surveilans Epidemiologi Sebagai Bentuk Penerapan Keperawatan Komunitas
Surveilans Epidemiologi Sebagai Bentuk Penerapan Keperawatan Komunitas
Oleh : Mahyuliansyah
Surveilans adalah suatu observasi terhadap orang-orang yang diduga menderita suatu penyakit menular dengan cara mengadakan bermacam-macam pengawasan medis, yang tidak membatasi bergerak dari orang atau orang-orang yang bersangkutan. Pengertian ini berkembang bukan saja pengamatan terhadap populasi tetapi pengamatan semua factor yang mempengaruhi terjadinya penyakit atau masalah kesehatan yang menimpa masyarakat.
Surveilans mutlak diperlukan pada program-program pemberantasan penyakit menular sebagai dasar perencenaan, monitoring dan evaluasi program
Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan penanggulangan penyakit yang meliputi kegiatan :
1. Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit.
Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi dan mengenal perencanaan program yang baik.
2. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit.
Bagaimana keadaan sebelum dan sesudah dan sesudah program dilaksanakan sehingga dapat diukur keberhasilannya menggunakan data sueveilans epidemiologi.
3. Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa.
Dengan system surveilans yang peka terhadap perubahan-perubahan pola penayakit di suatu daerah tertentu dapat mengantisipasi kecenderungan penyakit di suatu daerah.
Tujuan akhir surveilans adalah untuk menetukan luasnya infeksi dan resiko penularan penyakit sehingga tindakan pemeberantasan dapat dijalankkan secara efektif dan efisien. Oleh karaena itu data surveilans harus sesuai dengan kondisi penyakit/masalah kesehatan masyarakat setempat.
Dengan melakukan surveilans yang baik, maka data yang ada dapat etrkumpul, diolah dan dianalisa sehingga menjadi informasi untuk perencanaan program, penanggulanagan dan pencegahan penyakit.
Peranan perawat komunitas di Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan surveilans adalah sangat penting artinya, mengingat bahwa Puskesmas adalah sebagai sumber informasi yang dapat langsung dari masyarakat. Sehingga informasi masalah penyakit atau masalah kesehatan segera dapat diketahui lebih akurat.
Peran ini sangat erat kaitannya dengan peran perawat komunitas berdasarkan rumusan Departemen Kesehatan pada penerapan Desa Siaga,
salah satunya sebagi penemu kasus di lapangan, yakni melakukan surveilans epidemiologi, melakukan penemuan kasus/masalah-masalah kesehatan di masyarakat, menerapkan prinsip privacy dalam penemuan kasus-kasus yang dinilai negatif oleh masyarakat, melaporkan hasil penemuan kasus kepada pihak terkait
Kegiatan-kegiatan perawat komunitas yang berhubungan langsung dengan surveilans epidemiologi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit menular adalah :
• Pengamatan penyakit menular tertentu.
• Pengamatan terpadu untuk pemantauan programdan dampak program melalui pemantauan Wilayah Setempat (PWS), dan pengamatan dan pemberantasan berbagai vector penyakit, dan pengamatan secara laboratorium.
• Pengobatan penderitan baik yang bersifat pencegahan maupun penyembuhan dalam rangka pemutusan rantai penularan.
• Imunisasi untuk mencegah penyakit-penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi.
• Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan wabah penyakit seperti diare, malaria, demam berdarah, Rabies dan penyakit yang dapat menimbulkan wabah.
Dari penjelan di atas secara langsung dan tidak langsung menyatakan bahwa upaya surveilans epidemiologi tidak dapat dipisahkan dengan fungsi dan perawat komunitas itu sendiri.
Sumber :
Depkes RI, 1997, Jakarta, Mudol Pelatihan Funsional Bagi Tenaga Surveilas di Puskesmas.
Dini Meinanda Mutiara, Rumiati, Selvi Ermawati, 2008,………….., Keluarga Binaan Sebagai Wujud Peran Perawat Komunitas dalam Penanggulangan Gizi Buruk pada Anak
Senin, 23 Februari 2009
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT SEBAGAI SUATU SISTEM
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT SEBAGAI SUATU SISTEM
Oleh : Mahyuliansyah
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu pendekatan yang digagas oleh WHO dan UNICEF untuk menyiapkan petugas kesehatan melakukan penilaian, membuat klasifikasi serta memberikan tindakan kepada anak terhadap penyakit-penyakit yang umumnya mengancam jiwa. MTBS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan petugas, memperkuat sistem kesehatan serta meningkatkan kemampuan perawatan oleh keluarga dan masyarakat yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1999.
MTBS dalam kegiatan di lapangan khususnya di Puskesmas merupakan suatu sistem yang mempermudah pelayanan serta meningkatkan mutu pelayanan. Tabel di bawah ini dapat dilihat penjelasan MTBS merupakan suatu sistem.
1. Input
Balita sakit datang bersama kelaurga diberikan status pengobatan dan formulir MTBS Tempat dan petugas : Loket, petugas kartu
2. Proses
- Balita sakit dibawakan kartu status dan formulir MTBS.
- Memeriksa berat dan suhu badan.
- Apabila batuk selalu mengitung napas, melihat tarikan dinding dada dan mendengar stridor.
- Apabila diare selalu memeriksa kesadaran balita, mata cekung, memberi minum anak untuk melihat apakah tidak bias minum atau malas dan mencubit kulit perut untuk memeriksa turgor.
- Selalu memerisa status gizi, status imunisasi dan pemberian kapsul VitaminA
Tempat dan petugas : Ruangan MTBS, case manager (Bidan yang telah dilatih MTBS)
3. Output
Klasifikasi yang dikonversikan menjadi diagnosa, tindakan berupa pemberian terapi dan konseling berupa nasehat pemberian makan, nasehat kunjungan ulang, nasehat kapan harus kembali segera. Konseling lain misalnya kesehatn lingkungan, imunisasi, Konseling cara perawatan di rumah. Rujukan diperlukan jika keadaan balita sakit membutuhkan rujukan
Tempat dan petugas : Ruangan MTBS, case manager (Bidan yang telah dilatih MTBS).
Petugas yang berkaitan dengan upaya konseling yang dilakukan
Pemeriksaan balita sakit ditangani oleh tim yang dipimpin oleh pengelola MTBS yang berfungsi sebagai case manager. Pemilihan case manager oleh pimpinan Puskesmas berdasarkan pertimbangan pernah mengikuti pelatihan dan sanggup untuk mengelola MTBS. Dalam Keseharian pengelola bertanggung jawab kepada coordinator KIA Puskesmas. Case manager bertanggung jawab melakukan pemeriksaan dari penilaian, membuat klasifikasi, mengambil tindakan serta melakukan konseling dengan dipandu buku bagan dan tercatat dalam formulir pemeriksaan.
Case manager bertanggung jawab mengelola kasus balita sakit apabila memerlukan konseling gizi, kesehatan lingkungan, serta imunisasi, petugas dapat meminta petugas yang bersangkutan muntuk memberikan konseling. Sesudah mendapatkan konseling maka dilakukan penulisan resep serta penjelasan agar pengantar mematuhi perintah yang diberikan dalam pengobatan di rumah. Konseling mengenai cara pemberian obat, dosis, lama pemberian, waktu pemberian, cara pemberian dan lain-lain menjadi hal yang rutin dilakukan. Hasil kegiatan pemeriksaan dicatat dalam register kunjungan, kemudian direkap setiap akhir bulan untuk laporan MTBS kepada Dinkes.
Adanya tim sangat mendukung praktik MTBS. Tim yang dipimpin oleh seorang case manager apabila menemukan masalah maka mengkonsulatasikannya kepada koordinator KIA yang selanjutnya dikonsultasikan kepada pimpinan Puskesmas. Dalam hal konseling case manager mendistribusikan tugas pada petugas yang berhubungan dengan masalah konseling yang dilakukan. Kejelasan tugas dalam pembagian kerja menyebabkan penanganan kasus lebih efektif. Selain itu adanya fleksibelitas dalam tim memungkinkan petugas lain juga diharapkan mampu memberikan konseling lain apabila petugas yang bersangkutan tidak ada sehingga praktik MTBS tetap berjalan.
Pemberian konseling menjadi unggulan dan sekaligus pembeda dengan pelayanan balita sakit tanpa melakukan praktik MTBS. Dengan pemberian konseling diharapkan pengantar atau ibu pasien mengerti penyakit yang diderita, cara penanganan di rumah, memperhatikan perkembangan penyakit anaknya sehingga mampu mengenali kapan harus segera membawa anaknya ke petugas kesehatan serta diharapkan memperhatikan tumbuh kembang anak dengan cara memberikan makanan sesuai umurnya. Semua pesan tersebut tercermin dalam Kartu Nasihat Ibu (KNI) yang biasanya diberikan setelah ibu ayau pengantar balita sakit mendapatkan konseling ini untuk menjadi pengingat pesan-pesan yang disampaikan serta pengingat cara perawatan di rumah.
Keterpaduan pelayanan yang dilakukan praktik MTBS menunjukan suatu kerja tim yang kompak dan fleksibel dengan dipandu buku panduan atau formulir MTBS menggambarkan bahwa MTBS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan.
Daftar Pustaka
1. Depkes RI, (2007) Modul PelatihanMTBS, Jakarta
2. Pratono, Hari. Dkk, (2008) Manajemen Terpadu Balita Sakit, Evaluasi Pelaksanaan MTBS di Puskesmas Tanah Laut.. Available from
Rabu, 18 Februari 2009
HUBUNGAN KERJASAMA SEKOLAH DENGAN INSTANSI KESEHATAN
HUBUNGAN KERJASAMA SEKOLAH DENGAN INSTANSI KESEHATAN
Oleh : Nor Alimah, S.Pd
PENDAHULUAN
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri, sifatnya mutlak baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara.
Pendidikan dalam arti luas, mengandung pengertian mendidik, mengajar dan melatih. Tiga komponen ini merupakan satu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan. Pengembangan tiga aspek ini harus berjalan seimbang. Tidak tepat sekiranya dalam melaksanakan pendidikan hanya menitikberatkan pada salah satu aspek saja. Jadi jelas bahwa sekolah tidak hanya sebagai tempat guru mengajar atau tempat murid belajar, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan wiyata mandala atau lingkungan pendidikan yang di dalanya terjadi proses pendidikan.
Sekolah merupakan suatu lembaga yang bulat dan utuh, yang berekstensi sebagai suatu unit dan tidak terpecah-pecah. Lingkungan sekolah secara keseluruhan merupakan suatu masyarakat yang utuh dan bulat yang memiliki kepribadian sendiri dan mandiri dibawah kepemimipinan kepala sekolah sebagai pemimpin utama.
Sekolah berada di lingkungan masyarakat yang memiliki tata kehidupan budaya. Oleh sebab itu sekolah tidak bisa hidup sendiri namun bukan berarti sekolah dengan begitu saja menerima seluruh tatanan budaya yang ada di masyarakat. Yang diterima sekolah adalah tatanan budaya pilihan yang mencerminkan perilaku yang dijiwai norma-norma luhur. Sekolah juga berada di dalam suatu masyarakat formal lain seperti instansi-instansi pemerintahan lain, dimana sekolah juga tidak boleh hidup menyendiri tanpa ada hubungan dengan dengan instansi lain. Hubungan tersebut biasanya terjalin dengan adanya saling membutuhkan dan mendukung dalam upaya peningkatan kinerja dan keberhasilan suatu program yang dikelola oleh masing-masing.
Sehubungan dengan hal tersebut maka salah satu bentuk hubungan yang bertujuan untuk peningkatan kinerja dan keberhasilan masing-masing institusi adalah hubungan kerjasama sekolah dengan kesehatan dalam hal ini bentuk kegiatannya adalah Upaya Kesehatan Sekolah.
UPAYA KESEHATAN SEKOLAH
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 17, dinyatakan bahwa kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak dan kesehatan anak dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi,, masa balita, usia pra sekolah dan usia sekolah. Selanjutnya dalam pasal 45 dinyatakan bahwa kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Di samping itu kesehatan sekolah juga diarahkan untuk memupuk kebiasaan hidup sehat agar memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melaksanakan prinsip hidup sehat aktif berpartisipasi dalam usaha peningkatan kesehatan, baik di sekolah, rumah tangga maupun dalam lingkungan masyarakat.
Konsep hidup sehat yang tercermin pada perilaku sehat dalam lingkungan sehat perlu diperkenalkan seawal mungkin kepada generasi penerus dan selanjutnya dihayati dan diamalkan. Peserta didik bukanlah lagi semata-mata sebagai obyek pembangunan kesehatan melainkan sebagai subyek dan dengan demikian diharapkan mereka dapat berperan secara sadar dan bertanggung jawab dalam pembangunan kesehatan.
Salah satu bentu hubungan yang nyata di sekolah adalah kegiatan Program Upaya Kesehatan Sekolah. Pembinaan dan pengembangan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan salah satu mata rantai dalam meningkatkan derajat kesehatan. UKS adalah merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat serta memupuk kebiasaan hidup sehat, sehingga dapat mempertinggi derajat kesehatan peserta didik, dimana didalamnya mencakup kegiatan-kegiatan agar peserta didik :
1. Memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melakukan hidup sehat serta berpartisipasi aktif dalam usaha peningkatan kesehatan di sekolah, rumah tangga maupun lingkungan masyarakat.
2. Sehat dalam arti fisik, mental dan social.
3. Memiliki daya hayat dan daya tangkal terhadap pengaruh penyalahgunaan narkotika, obat-obatan, alkohol dan rokok.
Sejalan dengan visi sekolah sebagai Wawasan Wiyata Mandala yang meliputi lima unsur pokok, yaitu :
1. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan
2. Peranan Kepala Sekolah dalam rangka Wawasan Wiyata Mandala.
3. Hubungan antara guru dengan orang tua murid.
4. Kesdaran semua warga sekolah terhadap martabat dan citra guru.
5. Hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Kepala Sekolah kedudukannya mempunyai sifat manajerial maka dalam mengembangkan pelaksanaan Wiyata Mandala mempuyai kedudukan sentral dalam menentukan seluruh proses pengelolaan sekolah dan lebih memantapkan lagi unsur ke lima dari Wawasan Wiyata Mandala.
Dengan demikian peranan unsur yang lain sangat ditentukan oleh kreatifitas Kepala Sekolah. Demikian juga dengan pengembangan UKS yang lebih lazim disebut Trias UKS yaitu pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatn dan pembinaan lingkungan sehat. Agar tercapai tujuan yang diharaplkan dari kegiatan UKS perlu intervensi oleh Kepala Sekolah atau dapat didelegasikan melalui guru yang ditunjuk sebagai Pembina UKS.
Salah satu bentuk kegiatan Program UKS yang melibatkan sekolah dan kesehatan adalah pembentukan Dokter Kecil untuk tingkat SD/MI dan Kader Kesehatan Remaja untuk tingkat SLTP/Mts dan SLTA/MA.
Dokter Kecil dan kader Kesehatan Remaja adalah peserta didik yang dipilih guru guna ikut melaksanakan sebahagian usaha pelayanan ksehatan terhadap diri sendiri, kelurga, teman peserta didik pada khususnya dan sekolah pada umumnya. Tujuan diadakannya pembentukan Dokter kecil/Kader Kesehatan Remaja adalah :
1. Agar peserta didik dapat menolong dirinya sendiri dan orang lain untuk hidup sehat.
2. Agar peserta didik dapat membina teman-temannya dan berperan sebagai promotor dan motivator dalam menjalankan usaha kesehatan terhadap diri masing-masing.
3. Agar peserta didik dapat membantu guru, keluarga dan masyarakat di sekolah dan di luar sekolah.
Kegiatan lain yang dilaksanakan dalam rangka program UKS yang melibatkan pihak sekolah dan kesehatan, antara lain :
1. Pendataan murid baru dan data penunjang yang mendukung kegiatan UKS. Pendataan dilakukan pada tahun ajaran baru.
2. Penjaringan dan pemeriksaan kesehatan serta penimbangan berat badan/pengukuran tinggi badan dilaksanakan pada murid baru di awal tahun ajaran baru.
3. Imunisasi dilaksanakan untuk murid SD/MI yang biasanya di sebut Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan Nopember.
4. Penyuluhan kesehatan.
5. Usaha Kesehatan Gigi Sekolah merupakan bagian integral dari kegiatan UKS yang meliputi pemeriksaan gigi, pencabutan, pengobatan dan penyuluhan.
6. Pemeriksaan Kesehatan Lingkungan.
7. Bimbingan Tekhnis dan administrasi UKS yang meliputi tekhnis rujukan dan pelatihan dokter kecil/kader kesehatan remaja.
8. Lain-lain yaitu kegiatan lain sesuai kebutuhan pihak sekolah atau instansi kesehatan.
PENUTUP.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pendidikan merupakan suatu kemutlakan bagi setiap orang.
2. Sekolah merupakan salah satu lingkungan pendidikan yang mempunyai hubungan dengan lingkungan lain di luar sekolah yang seharusnya saling menguntungkan dan membutuhkan.
3. Bentuk hubungan nyata dengan kesehatan adalah dalam bentuk kegiatan Upaya Kesehatan Sekolah yang menitikberatkan pada pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat.
4. Kepala Sekolah selaku pemegang pimpinan dapat melakukan intervensi atau dapat mendelegasikan kepada guru yang ditunjuk untuk mengelola program UKS di sekolah.
KEPUSTAKAAN
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, UNdang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Jakarta, 1992
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Kerja Puskesmas jelid II, Jakarta, 1992
Direktorat Pendidikan Dasar, Majalah MUTU Vol.III No. 1 Edisi April-Juni 1994, Jakarta, 1994
Dinas Kesehatan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dokter Kecil, Jakarata, 1993
Selasa, 17 Februari 2009
Kematian Ibu Hamil dan Anemia Gizi Besi
Sampai saat ini tingginya angka kematian ibu di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Di samping menunjukkan derajat kesehatan masyarakat, juga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu adalah trias perdarahan, infeksi, dan keracunan kehamilan. Penyebab kematian langsung tersebut tidak dapat sepenuhnya dimengerti tanpa memperhatikan latar belakang (underlying factor), yang mana bersifat medik maupun non medik. Di antara faktor non medik dapatdisebut keadaan kesejahteraan ekonomi keluarga, pendidikan ibu, lingkungan hidup, perilaku, dan lain-lain. Kerangka konsep model analisis kematian ibu oleh Mc Carthy dan Maine menunjukkan bahwa angka kematian ibu dapat diturunkan secara tidak langsung dengan memperbaiki status sosial ekonomi yang mempunyai efek terhadap salah satu dari seluruh faktor langsung yaitu perilaku kesehatan dan perilaku reproduksi, status kesehatan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Ketiga hal tersebut akan berpengaruh pada tiga hasil akhir dalam model yaitu kehamilan, timbulnya komplikasi kehamilan/persalinan dan kematian ibu. Dari model Mc Carthy dan Maine tersebut dapat dilihat bahwa setiap upaya intervensi pada faktor tidak langsung harus selalu melalui faktor penyebab yang langsung. Status kesehatan ibu, menurut model Mc Carthy dan Maine merupakan faktor penting dalam terjadinya kematian ibu. Penyakit atau gizi yang buruk merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan ibu. Rao (1975) melaporkan bahwa salah satu sebab kematian obstetrik tidak langsung pada kasus kematian ibu adalah anemia. Grant menyatakan bahwa anemia merupakan salah satu sebab kematian ibu, demikian juga WHO menyatakan bahwa anemia merupakan sebab penting dari kematian ibu. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan meningkatnya kesakitan ibu.(Studi Kasus Kontrol Faktor Biomedis Terhadap kejadian Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Available from : med.unhas.ac.id)
Penelitian Saraswati dan Sumarno (1998) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan kadar Hb <10 g/dl mempunyai risiko 2.25 kali lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu hamil dengan kadar Hb di atas 10 g/dl , dimana ibu hamil yang menderita anemia berat mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR 4.2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tdak anemia berat. Informasi yang dikumpulkan oleh Sub Commitee on Nutrition WHO menunjukkan bahwa paling sedikit satu diantara dua kematian ibu di negara sedang berkembang adalah akibat anemia gizi besi. Suatu studi di Indonesia pada 12 rumah sakit pendidikan pada akhir tahun 1970 melaporkan bahwa angka kematian ibu di kalangan penderita anemia adalah 3.5 kali lebih besar dibandingkan dengan golongan ibu yang tidak anemia. Apabila kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%, risiko kematian maternal meningkat sekitar delapan kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tidak anemia. Disparitas kematian ibu antar wilayah di Indonesia masih cukup besar dan masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN misalnya resiko kematian ibu karena melahirkan di Indonesia adalah 1 dari 65, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di Thailand. Pada tahun 2002 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan. (Dampak Anemia dan Kekurangan Energi Kronik pada Ibu Hamil. Available from : www.eurekaindonesia.org)
Hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunujukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. (Status Gizi Ibu Hamil Serta pengaruhnya terhadap bayi Yang Dilahirkan. Available from : 118.98.213.22/ aridat_web/how/k/kesehatan)
Anemia adalah masalah kesehatan dengan prevalensi tertinggi pada wanita hamil. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70%, atau 7 dari 10 wanita hamil menderita anemia. Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 - 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil. Pada banyak wanita hamil, anemia gizi besi disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi dan kebutuhan yang meningkat. Selain itu, kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan zat besi ibu yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Jadi, kebutuhan zat besi untuk tiap wanita berbeda-beda sesuai siklus hidupnya. Wanita dewasa tidak hamil kebutuhannya sekitar 26 mg per hari, sedangkan wanita hamil perlu tambahan zat besi sekitar 20 mg per hari.( 7 dari 10 Wanita Hamil Terkena Anemia. Available from : www.balita-andaindogloble.com)
Anemia kurang besi adalah salah satu bentuk gangguan gizi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Penyebab utama anemia kurang besi tampaknya adalah karena konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dari pola makanan yang sebagian besar terdiri dari nasi, dan menu yang kurang beraneka ragam. Konsumsi zat besi dari makanan tersebut sering lebih rendah dari dua pertiga kecukupan konsumsi zat besi yang dianjurkan, dan susunan menu makanan yang dikonsumsi tergolong pada tipe makanan yang rendah absorbsi zat besinya. (Anemia Kurang Besi dalam Hubungannya Dengan Infeksi Cacing Pada Ibu Hamil. Available from : www.library.usu.ac.id).
Kamis, 12 Februari 2009
Keperawatan Komunitas dan Program Penanggulangan Buta Katarak
Mata merupakan organ penting bagi makhluk hidup. Dengan mata dapat dibedakan terang dan gelap.
Bagaimana dengan orang buta?Sudah pasti mereka tidak bisa membedakannya.
Mengapa saya menulis artikel ini ? Dan apa hubungannya dengan keperawatan komunitas?
Program penanggulangan buta katarak merupakan suatu program yang dilaksanakan oleh PT. Adaro Indonesia yang berada di Kal.Sel bekerjasama dengan Pemda Kab.Tabalong, Balangan, HSU, Barito Timur, Barito Selatan dan didukung oleh Yayasan Kemanusian Indonesia.
Sasaran program ini adalah penderita katarak masyarakat yang tidak mampu.
Pelaksanaan operasi dilakukan di dalam mobil klinik operasi yang berkeliling ke Puskesmas-Puskesmas.
Kegiatan ini di mulai dari bulan Mei 2003 dan masih berjalan sampai sekarang. Sampai saat ini operasi yang dilakukan sudah mencapai 3000 lebih penderita katarak.
Operasi yang dilaksanakan dibiayai oleh PT.Adaro Indonesia.
Peran dari Puskesmas di lokasi operasi sangatlah penting. Penjaringan awal dilakukan oleh petugas Puskesmas dan dibantu oleh bidan desa.
Informasi disampaikan secara berjenjang dari Dinkes di Kabupaten sampai ke bidan desa yang selanjutnya sampai kepada masyarakat.
Sistim informasi yang baik ini menumbuhkan peran serta masyarakat. Hal ini terlihat dari kesadaran kepala desa mengumpulkan penderita katarak dan bahkan langsung mengantar warganya untuk diperiksa matanya.
Mobil Klinik Mata Dan Operasi Katarak
Mobil katarak merupakan mobil truk yang telah dimodifikasi sebagai mobil unit keliling yang dimungkinkan dapat melakukan operasi katarak dan dapat menjangkau daerah terpencil. Dilengkapi dengan sarana operasi di dalam mobil dan sebuah unit generator sebagai penyedia listrik sebesar 6000 watt.
Lebih dari 100.000 km telah dijalani oleh mobil ini . Mobil ini di sebut mobil ajaib karena ukurannya yang besar dan selalu menarik sebuah unit generator.
Tim Penanggulangan Buta Katarak
Dikoordinir seorang koordinator, 1 orang dokter spesialis mata, 4 orang perawat, 2 orang driver, 1 orang sekretaris komite katarak dan 1 orang tenaga administrasi.
Dokter spesialis yang sudah pernah bertugas di tim adalah 12 orang.
Kegiatan tim tidak hanya operasi katarak di mobil katarak juga meliputi kegiatan seperti penyuluhan, sekrening penderita, pengumpulan data calon pasien, pengecekan hasil operasi katarak.
Tim bekerja sepanjang tahun di wilayah kerja yang telah ditentukan di Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk salut saya atas kepedulian perusahaan dan sebagai informasi kepada dunia (kalau terbaca).
Hubungannya dengan keperawatan komunitas adalah :
Perusahaan adalah suatu komunitas formal yang harus berinteraksi dengan komunitas non formal dalam hal ini masyarakat di wilayah kerjanya. Maka perlu adanya peran serta aktif diantara keduanya dalam hal mengatasi masalah kesehatan.
Keterlibatan instansi lain yakni Dinkes dalam hal ini adalah Puskesmas yang sudah pasti juga melibatkan perawat komunitas untuk membantu kelancaran penjaringan penderita di lapangan.
Bahan bacaan
Indahnya Terang, PT.ADARO INDONESIA.
Keperawatan Komunitas dan Konsep Pemicuan
Pemicuan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk mendorong atau memotivasi seseorang, keluarga atau masyarakat agar berbuat lebih baik.
Bentuk dari kegiatan pemicuan yaitu suatu promosi aplikatif yang memungkinkan tumbuh rasa takut, jijik, rasa bersalah yang kemudian muncul rasa tanggung jawab dan ingin memperbaiki keadaan.
Kegiatan pemicuan merupakan salah satu kegiatan yang lebih gampang untuk memunculkan peran serta / memperdayakan masyarakat.
Pemicuan merupakan konsep dari kegiatan CLTS yang diadopsi dari Banglades. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam hal ini tidak buang air besar disembarang tempat.
Bagaimanakah penerapan konsep pemicuan dalam keperawatan komunitas ?
Pemicuan yang dilaksanakan pada program CLTS berorientasi pada sanitasi lingkungan yang poin akhirnya ada kesadaran masyarakat untuk buang hajat pada tempatnya yaitu dengan berperan serta membuat jamban keluarga.
Kaitannya dengan keperawatan komunitas adalah pada kasus penyakit yang memungkinkan mempengaruhi kesehatan di masyarakat.
Konsep pemicuannya sama tapi orientasinya pada penyakit.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
Persiapan
Perawat komunitas mengadakan pendataan kasus-kasus bersama pembina desa. Sumber data berasal dari laporan penyakit bulanan atau laporan dari masyarakat. Selanjutnya dilakukan pengelompokan mana yang memungkinkan terjadi wabah atau tidak. . Tentukan wilayah mana yang segera perlu pemicuan.
Sebelum pemicuan.
Lakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan kegiatan pemicuan sekaligus meminta dukungan dan menentukan kapan dilaksanakan kegiatan pemicuan.
Pemicuan.
Masyarakatkan yang telah diikutsertakan oleh tokoh masyarakat diberikan penjelasan tentang kegiatan pemicuan. Lakukan tanya jawab tentang masalah penyakit yang ada yang mungkin meresahkan masyarakat, misalnya TBC, DBD, atau penyakit lain yang dapat dicegah dengan imunisasi misalnya campak.
Setelah semua memahami tentang masalah penyakit yang dimaksud lakukan kunjungan pada penderita. Setelah itu lakukan kembali pertemuan untuk mendengarkan pendapat masing-masing peserta. Sekiranya telah muncul kesadaran bahwa penyakit yang diderita memang mengkuatirkan maka picu rasa tanggung jawab mereka untuk menanggulanginya. Setelah ada kesepakatan misalnya tentang penyakit campak maka tidak ada istilah lagi takut akan imunisasi pada balita yang ada di daerah mereka semua bertanggung jawab mengimunisasika balita secara lengkap. Selain itu disepakati juga tentang menjaga kebersihan lingkungan dan pemberantasan sarang nyamuk sekiranya penyakit yang diderita adalah demam berdarah. Dan lain-lain sesuai penyakitnya.
Setelah pemicuan.
Dilakukan evaluasi tentang perkembangan penyakit dan hasil kesepakatan serta hasil cakupan program di Puskesmas.
Dapat disimpulkan bahwa pemicuan dapat dilaksanakan dalam keperawatan komunitas. Kegiatannya merupakan upaya pomotif dan preventif untuk mencegah wabah atau kejadian luar biasa di suatu wilayah.
Bahan bacaan.
Modul pelatihan fasilitasi Pamsimas/CLTS.
Senin, 09 Februari 2009
KEPERAWATAN KOMUNITAS DULU DAN SEKARANG
Barangkali kita akan bertanya-tanya apa sih maksud dari judul di atas. Adakah bedanya ? Atau hanya sekedar pisang goreng dibungkus dengan alumunium foil (kata temanku H.M.Tugiargo. S.Kep.NS)
Keperawatan dikerjakan oleh seorang perawat dengan macam cara dan metode sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan.
Hal inilah yang akan kita lihat apakah dari waktu ke waktu ada peningkatan kualitas dan mutu pelayanan.
Baik, mari kita analisa secara sederhana
Dulu dan sekarang.
Sebelum lebih jauh maka akan lebih baik kita bagi rentang waktu dulu yaitu sejak adanya keperawatan di Indonesia pada sekitar tahun 40 an sampai tahun 80 an. Waktu sekarang yaitu sejak 80 sampai periode saat ini.
Baiklah, mari kita lihat dari perkembangan sejarah keperawatan khususnya di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda perawat terbentuk pada dinkes tentara dan rakyat. Saat ini perawatan tidak berkembang. Pada masa penjajahan Inggris keperawatan mulai dibenahi khususnya untuk kesehatan tawanan. Masa setelah kemerdekaan, thn 1952 didirikan sekolah perawat, thn 1962 dibuka D3 kep, thn 1985 ada S1 kep, thn 1992 telah dibuka S2 kep, thn 2008 dibuka S3 kep.
Di lihat dari sejarah perkembangan pendidikan maka cukup jelas perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang dimana setiap saat ada perkembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan sejarah evolusi riset keperawatan bahwa masa lalu beorientasi kelanjutan pada pendidikan (1940 - 1950), tahun 1960-1970 mulai muncul konsep tentang keperawatan seperti konsep kerangka kerja, teori dan kontekstual sekitar komunikasi.
Pada masa sekarang ada kecenderungan ke penelitian klinis (thn 1980 an), thn 1993 mulai berkembang pada informatika keperawatan, promosi dan teknologi. Thn 1995 - 1999 muncul model keperawatan berbasis komunitas.
Dari sejarah tentang evolusi riset keperawatan bahwa keperawatan komunitas baru muncul pada masa sekarang.
Bagaimana paradigma yang dipakai keperawatan komunitas pada masa lalu dan sekarang?
Pada masa lalu paradigma yang digunakan adalah paradigma sakit, yaitu tindakan yang berperan adalah upaya kuratif. Kita sadari dulu banyaknya "dokter kecil" dan "mantri keliling" yang melaksanakan upaya kuratif. Sebenarnya masalah ini tidak dapat terlalu disalahkan karena sedikitnya tenaga medis yang bisa menjangkau masyarakat. Saat sekarang tenaga perawat sangatlah banyak, hampir separo tenaga perawat adalah perawat komunitas. Paradigma sakit telah bergeser pada paradigma sehat dimana upaya promotif dan preventif lebih ditekankan dari pada upaya kuratif. Tujuannya tidak lain untuk menumbuhkan kemandirian kepada masyarakat.
Sekiranya pada masa sekarang masih ada perawat komunitas yang masih menekankan pada upaya kuratif, nah ini dia yang barangkali disebut pisang goreng dibungkus dengan alumunium foil. Rasanya tetap saja pisang goreng. Tidak ada perubahan cuma pendidikan dan waktu saja yang berbeda.
Bagaimana dengan mutu dan kualitas perawatan?
Dikatakan bermutu dan berkualitas apabila suatu upaya yang dilakukan sesuai standar keilmuan dan dapat memuaskan sipenerima upaya. Masalah ini tidaklah beda antara masa lalu dan sekarang
. Artinya upaya perawatan komunitas baik dulu maupun sekarang haruslah sesuai dengan standar keilmuan pada masa masing-masing dan dapat memuaskan penerima upaya perawatan jika ingin dikatakan bermutu dan berkualitas.
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, perbedaan pendidikan, waktu serta pergeseran paradigma dari sakit menjadi sehat mempengaruhi terhadap perbedan keperawatan komunitas saat dulu dan sekarang.
Sumber bacaan :
Materi kuliah Konsef Dasar Keperawatan STIKES Myd Bjm.
Buletin Kesehatan Bersinar Dinkes Tabalong Juli 2008.
Rabu, 04 Februari 2009
Keperawatan Komunitas dan Promosi Kesehatan
Keperawatan komunitas memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh yaitu dilihat secara biopsikososial-spiritual, segala kebutuhan baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang diberikan secara menyeluruh pada saat sehat maupun sakit haruslah terpenuhi.
Keperawatan dalam upaya pelayanan merupakan bagian integral dari upaya pelayanan kesehatan dimana perawat merupakan bagian dari tim kesehatan.
Sasaran keperawatan komunitas adalah keluarga dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah kumpulan beberapa keluarga, kelompok-kelompok potensial .
Kegiatan keperawatan komunitas memfungsikan peran dan fungsi perawat secara umum.
Hubungannya dengan promosi kesehatan maka perawat komunitas adalah seorang pendidik dan penyuluh kesehatan.
Promosi kesehatan adalah salah satu bentuk upaya pelayanan kesehatan yang berorientasi pada penyampaian informasi tentang kesehatan guna penanaman pengetahuan tentang kesehatan sehingga tumbuh kesadaran untuk hidup sehat.
Penerapan promosi kesehatan di lapangan biasanya melalui pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan.
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses memberi dan menerima ilmu pengetahuan tentang kesehatan yang dijalani sejak muda sampai tua. Pendidikan bisa dilalui secara formal maupun non formal.
Perawat sebagai pendidik berarti perawat menyampaikan pendidikan kesehatan melalui 2 kegiatan, yaitu melalui sekolah secara formal dan di masyarakat secara non formal melalui penyuluhan kesehatan. Pendidikan kesehatan bertujuan menanamkan suatu pengetahuan kesehatan melalui sekolah, pengalaman dan masukan-masukan dari luar.
Penyuluhan kesehatan merupakan bentuk dari pendidikan kesehatan secara non formal.
Penyuluhan adalah penyampaian pesan kepada sasaran, dalam hal ini adalah manusia baik individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat luas. Pesan yang disampaikan berupa informasi kesehatan sesuai prioritas masalah yang dihadapi.
Secara sederhana mamfaat penyuluhan adalah untuk menyampaikan informasi secara cepat dan menjangkau banyak orang, mendorong terjadinya perubahan perilaku.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dapat dibagi 3, yaitu :
1. Jangka panjang, yaitu terwujudnya status kesehatan yang optimal.
2. Jangka menengah, yaitu perilaku sehat.
3. Jangka pendek, yaitu terciptanya pengertian, sikap dan norma-norma sehat.
Kegiatan penyuluhan kesehatan biasa dilakukan dengan cara ceramah, demonstrasi, permainan dan interaktif.
Mari berikan penyuluhan dengan tulus.