Jumat, 03 Juni 2011

PENANGGULANGAN ANEMIA GIZI UNTUK REMAJA PUTRI DAN WANITA USIA SUBUR

I. PENDAHULUAN


A. PENGERTIAN BERBAGAI ISTILAH SEHUBUNGAN DENGAN ANEMIA DAN KEK (KEKURANGAN ENERGI KRONIS)

Anemia Gizi : adalah kekurangan kadar haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi.

Read More ..

Masalah Gizi Makro

Apa yang dimaksud dengan masalah gizi makro ?
Masalah gizi makro adalah: masalah gizi yang utamanya disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan asupan energi dan protein.
Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu sasaran dari program perbaikan gizi makro ini berdasarkan siklus kehidupan yaitu dimulai dari wanita usia subur, dewasa, ibu hamil, bayi baru lahir, balita, dan anak sekolah

Apa saja maslah gizi makro ?

1. Berat Bayi lahir Rendah (BBLR)

Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat dari dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan adalah ibu dan pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas bayi yang dilahirkan dan anak yang dibesarkan.

Bayi dengan berat lahir rendah adalah salah satu hasil dari ibu hamil yang menderita kurang energi kronis dan akan mempunyai status gizi buruk. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita, juga dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu akan memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh pada penurunan kecerdasan (IQ). Setiap anak yang berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun 1999 diperkirakan terdapat kurang lebih1,3 juta anak bergizi buruk, maka berarti terjadi potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin.2 Sementara itu prevalensi BBLR pada saat ini diperkirakan 7 – 14 % (yaitu sekitar 459.200 – 900.000 bayi).

2. Gizi Kurang pada Balita

Gizi Kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita di Indonesia. Berdasarkan hasil susenas data gizi kurang tahun 1999 adalah 26.4 %, sementara itu data gizi buruk tahun 1995 yaitu 11.4 %. Sedangkan untuk tahun 2000 prevalensi gizi kurang 24.9 % dan gizi buruk 7.1%.

Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. 2

3. Gangguan Pertumbuhan

Dampak selanjutnya dari gizi buruk pada anak balita adalah terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah. Gangguan ini akan menjadi serius bila tidak ditangani secara intensif.

Hasil Survei Tinggi Badan Anak Baru masuk Sekolah (TB-ABS) di lima propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Maluku dan Irian Jaya) pada tahun 1994 dan tahun 1998 menunjukkan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia 5 – 9 tahun masing-masing 42.4 % dan 37.8 %. Dari angka tersebut terjadi penurunan yang cukup berarti, tetapi secara umum, prevalensi gangguan pertumbuhan ini masih tinggi.

4. Kurang Energi Kronis (KEK)

KEK dapat terjadi pada Wanita Usia Subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). KEK adalah keadaan dimana ibu menderita keadaan kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. (Departemen Kesehatan, 1995)



4.1. Pada Wanita Usia Subur (WUS)

Pemantauan kesehatan dan status gizi pada WUS merupakan pendekatan yang potensial dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kondisi WUS yang sehat dan berstatus gizi baik akan menghasilkan bayi dengan kualitas yang baik, dan akan mempunyai risiko yang kecil terhadap timbulnya penyakit selama kehamilan dan melahirkan.

Dari data Susenas pada tahun 1999 menunjukkan bahwa status gizi pada WUS yang menderita KEK (LILA < 23.5 cm) sebanyak 24.2 %. Hasil analisis IMT pada 27 ibukota propinsi menunjukkan KEK pada wanita dewasa (IMT< 18.5) sebesar 15.1 %.

4.2. Pada Ibu Hamil (Bumil)

Ibu hamil yang menderita KEK mempunyai risiko kematian ibu mendadak pada masa perinatal atau risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada keadaan ini banyak ibu yang meninggal karena perdarahan, sehingga akan meningkatkan angka kematian ibu dan anak.

Data SDKI tahun 1997 angka kematian bayi adalah 52.2 per 1000 kelahiran hidup dan dari data SDKI tahun 1994 angka kematian ibu adalah 390 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan dari data Susenas pada tahun 1999, ibu hamil yang mengalami risiko KEK adalah 27.6 %.

Apa penyebab masalah tersebut ?
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:
A. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
B. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
- Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
- Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
- Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.

Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.
C. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak langsung.
D. Akar masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut teleh memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.

Upaya apa yang bisa dilakukan ?
Pemerintah dapat melaksanakan berbagai upaya untuk menurunkan penderita gizi kurang yaitu antara lain dengan cara menjamin setiap ibu menyusui ASI eksklusif, menjamin setiap ibu memperoleh pendampingan dan dukungan program gizi. Sesuai dengan skema berikut, upaya perbaikan gizi tidak hanya melibatkan soal teknis kesehatan akan tetapi menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, ideologi dan kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya terintegrasi lintas program maupun lintas sektor terkait baik di tingkat pusat maupun tingkat propinsi dan kabupaten.

Sumber :

Direktorat Gizi Masyarakat, Tata Laksana Penanggulangan Gizi Buruk, Jakarta 2000
Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, Situasi Pangan dan gizi di Indonesia, Jakarta, 2000
6Departemen Kesehatan, Status Gizi dan Imunisasi Ibu dan Anak di Indonesia, Jakarta, 1999
Departemen Kesehatan, Tuntutan Praktis Bagi Tenaga gizi Puskesmas, Bekalku Membina Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), Jakarta, 1999
im Koordinasi Penanggulangan masalah Gizi Pangan dan Gizi, Gerakan nasional penanggulangan masalah Pangan dan Gizi di Indonesia, Jakarta, 1999


Read More ..

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

Pengertian
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.


P

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

Manifestasi Klinis
Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10
b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang
c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan brace / korset
e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
f. Ajarkan teknik relaksasi
g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Berikan informasi yang akurat
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.



DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993.

Read More ..